Jumat, 04 Maret 2011

Toelf & Sejarah

Salah satu sarat untuk menjadi Pegawai negri sipil Di dalam pemerintahan Provinsi Jambi khususnya guru harus mempunyai ijazah Toelf minimal 400 kata. Hal ini yang membuat masyarakat cendrung untuk beralih ke daerah-daerah yang mana tidak menggunakan ijazah Toflf. Bisa di ambil kesimpulan masyarakat calon Pegawai negri sipil provinsi jambi minim/tidak bisa berbahasa inggris.

Kalau di lihat dari peristiwa masa lalu ( sejarah ) kita akan bebalik bertanya, lebih enak di jajah inggris ap belanda ? beberapa orang meyesalkan kenapa Indonesia tidak di jajah oleh inggris, kalau kita di jajah inggris para CPNS tidak perlu takut dan ribet dengan yang namanya Toelf dan rencana kebijakan liberalisasi tenaga kerja yang membuka peluang persaingan bebas antara tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing.

Apa lagi dari Cerita para orang tua yang bekerja di perusahaan swata, para pekerja bule ini di gaji dengan upah yang tinggi di bandingkan pekerja Indonesia padahal belum tentu kemampuan dan kapabilitasnya lebih dari orang Indonesia bahkan ada yang lebih rendah dari orang Indonesia. Ya, hanya modal bahasa inggris karma memang sejak lahir menggunakan kata “yes-no” “yes-no”. garis sejarah sudah tertoreh, kita di jajah berabad-abad oleh Belanda. Menyedot pasir Indonesia dalam membuat kota-kota di belanda yang memiliki sebutan DAM.

Memang belanda menjajah Indonesia tapi semestinya masyarakat Indonesia paseh dalam berbahasa belanda. Ya, paling tidak seperti bahasa inggris yang di pakai di Negara bekas daerah koloninya india, dimana orang-orang desanya mereka bisa cas-cis-cus dalam berbahasa inggris ( karma memang lama di jajah inggris ). Nah disini yang harus jadi pertanyaannya.

Saat penjajahan jepang dimana jepang melarang penggunaan bahasa belanda di semua bidang, salah satunya di sector pendidikan, Memang ada alasan yang baik untuk keputusan itu: bahasa Indonesia harus diterima sebagai satu-satunya bahasa nasional, terlindung dari segala persaingan, dan pemerintah waktu itu berharap dapat keluar selamanya dari orbit Belanda.

Namun, para mahasiswa baru, yang jumlahnya justru meningkat sangat cepat, jadi terputus dari buku-buku pegangan yang tersedia, maupun dari seluruh pustaka ilmiah mengenai negerinya. Penggunaan bahasa Belanda tentu saja masih dipertahankan secara tidak resmi di kalangan mereka yang telah menyelesaikan studi sebelum tahun 1942, dan ada sekedar upaya untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkan pustaka Universitas yang diperlukan. Meski demikian, pemutusan itu tetap menimbulkan dampak sangat buruk. Kebijakan itu baru dihapuskan setelah tahun 1969, jadi hampir 25 tahun setelah kemerdekaan, dan pada saat bahasa Inggris sudah mengantikan bahasa Belanda sebagai bahasa asing pertama . Hanya satu yang di sayangkan adalah keterputusan intelektual, karena pada masa itu text-book yang dipakai masih banyak yang berbahasa Belanda.
Namun, apakah persoalan ini menjadi masalah serius dalam konteks keilmuan kontemporer? Saat ini yang menjadi lingua franca internasional adalah Bahasa Inggris. Bahasa Belanda, jangankan jadi bahasa ilmiah internasional, masuk bahasa resmi United Nation aja ngak (yang masuk bahasa resmi PBB yaitu, Inggris, Mandarin, Perancis, Rusia, Arab, Spanyol).
Jadi kita bisa mengucapkan syukur karena pada masa pelarangan pengajaran Bahasa Belanda, para ahli bahasa kita semakin memassifkan dan menguatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sehingga, sebagai bangsa yang besar kita bisa berbangga memiliki bahasa sendiri yang menjadi pemersatu di berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara.
Penjajah tetaplah penjajah, siapapun itu? Mau , Inggris, Belanda, Spanyol, Portugis, Perancis, semua tetap meninggalkan luka mendalam dalam alam bawah sadar historis bangsa terjajah. Meskipun upaya menghilangkan beban psikologis itu sudah dimulai sejak awal oleh founding father kita, tetap saja sampai saat ini “penyakit inlander” itu belum hilang dari memori bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar