Jumat, 04 Maret 2011

Nasionalis Tionghoa Di Indonesia Terhadap Kemeredekaan Indonesia
Pada saat pelaksaan persiapan hari kemerdekaan, warga etnis tionghoa mempunyai andil yang tidak sedikit, seperti saat pembentukan panitiapersiapan kemerdekaan indonesia dengan ketuanya Ir. Soekarno, terdapat Drs. Yap Tjwan Bing sebagai anggota yang mewakili etnis tionghoa. Hal ini menunjukan bahwa etnis tionghoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. oleh karena itu, tak lagi layak jika di kemudia hari masih ada anggapan bahwa warga etnis tionghoa bukanlah anak bangsa.
Dalam perang di aceh peran warga tionghoa juga tidak dapat di abaikan, terutama bantuan dari para pedagang tionghoa. Para pedagang tionghoa, selain telah menyulitkan tentara pasukan belanda di aceh dalam penerobosan blokade belanda, juga sebagai pemasok senjata bagi para pejuang aceh. Tindak kekerasan di lancarkan VOC saat itu sehingga lahirlah perjuangan heroik yang I lakukan oleh warga tionghoa, peristiwa ini akhirnya di kenang sebagai peristiwa bersejarah atas keberaniaan warga etnis tionghoa dalam melawan kesewenagan VOC di tahun 1740, yang di sebut sebagi tragedi angke.
Perang Di Rembang 1827 perang yang menurut belanda sangat mendadak dan sangat berbahaya. Cepatnya peperangan ini tidak lepas dari bantuan warga etnis tionghoa yang saat itu tinggal di timur remang yaitu Lasem, sebuah pelabuhan tua. Bantuan yang di berikan pada saat itu bukan hanya bantuan personil yang secara aktif bergabung dan membantu pasukan tumenggung sosro dilogo, tetapi juga pasokan senjata yang di selundupkan dari singgapura ke rembang melalui pelabuhan Lasem.
Di Kalimantan Barat, perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda juga banyak di lakukan oleh warga etnis tionghoa, Mereka kebanyakan tinggal di daerah mandor, Montrado, dan lumar yang terdiri atas suku Hok Lo dan Hak ka serta berfrofesi sebagai pendulang Emas. Mereka banyak memperlihatkan sikap permusuhan terhadap belanda, mereka menolak keras atas pembayaran pajak langsung atau membayar cukaibuat mandat dan garamnya. Melihat aksi penolakan ini, pada bulan juni 1825 belanda menggirimkan 600 orang serdadu untuk menghancurkan warga etnis tionghoa.
Perang di ponegoro berlangsung selama 5 tahun, menewaskan serdadu belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya sebanyak 20 juta Gulden. Pada awal perang di ponegoro, banyak warga etnis tionghoa yang igin bergabung sebagai anggota perang oleh karena itu penggeran di ponegoro menggeluarkan intruksi agar mereka masuk ke dalam agama islam terlebih dahulu. Peran warg etnis tionghoa dalam perang diponegoro sangat besar, selain sebagai anggota pasukan, terutama dalam penyediaan senjata.
Nasionalisme warga etnis tionghoa sebenarnya sudah terlihat sejak VOC berniat untuk mengguasai banten pada tahun 1753. sumbang sih warga etnis tionghoa kepada perjuangan rakyat banten melawan VOC teidak dapat begitu saja di lupakan. Saat itu banyak warga etnis tionghoa yang sama-sama berjuang denga pendudu setempat melawan penjajah belanda. Akan tetapi sulit untuk menentukan berapa jumlahnya mereka secara pasti, sebab mereka sudah banyak yang berasimilasi, bukan saja menggunakan nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. Salah satunya yaitu tjong Lin, yang membantu sultan ageng tirtayasa denga menjadi mata- mata bagi banten, dia akhirnya di tangkap dan di gantung setelah di siksa oleh belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar