Jumat, 04 Maret 2011

Toelf & Sejarah

Salah satu sarat untuk menjadi Pegawai negri sipil Di dalam pemerintahan Provinsi Jambi khususnya guru harus mempunyai ijazah Toelf minimal 400 kata. Hal ini yang membuat masyarakat cendrung untuk beralih ke daerah-daerah yang mana tidak menggunakan ijazah Toflf. Bisa di ambil kesimpulan masyarakat calon Pegawai negri sipil provinsi jambi minim/tidak bisa berbahasa inggris.

Kalau di lihat dari peristiwa masa lalu ( sejarah ) kita akan bebalik bertanya, lebih enak di jajah inggris ap belanda ? beberapa orang meyesalkan kenapa Indonesia tidak di jajah oleh inggris, kalau kita di jajah inggris para CPNS tidak perlu takut dan ribet dengan yang namanya Toelf dan rencana kebijakan liberalisasi tenaga kerja yang membuka peluang persaingan bebas antara tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing.

Apa lagi dari Cerita para orang tua yang bekerja di perusahaan swata, para pekerja bule ini di gaji dengan upah yang tinggi di bandingkan pekerja Indonesia padahal belum tentu kemampuan dan kapabilitasnya lebih dari orang Indonesia bahkan ada yang lebih rendah dari orang Indonesia. Ya, hanya modal bahasa inggris karma memang sejak lahir menggunakan kata “yes-no” “yes-no”. garis sejarah sudah tertoreh, kita di jajah berabad-abad oleh Belanda. Menyedot pasir Indonesia dalam membuat kota-kota di belanda yang memiliki sebutan DAM.

Memang belanda menjajah Indonesia tapi semestinya masyarakat Indonesia paseh dalam berbahasa belanda. Ya, paling tidak seperti bahasa inggris yang di pakai di Negara bekas daerah koloninya india, dimana orang-orang desanya mereka bisa cas-cis-cus dalam berbahasa inggris ( karma memang lama di jajah inggris ). Nah disini yang harus jadi pertanyaannya.

Saat penjajahan jepang dimana jepang melarang penggunaan bahasa belanda di semua bidang, salah satunya di sector pendidikan, Memang ada alasan yang baik untuk keputusan itu: bahasa Indonesia harus diterima sebagai satu-satunya bahasa nasional, terlindung dari segala persaingan, dan pemerintah waktu itu berharap dapat keluar selamanya dari orbit Belanda.

Namun, para mahasiswa baru, yang jumlahnya justru meningkat sangat cepat, jadi terputus dari buku-buku pegangan yang tersedia, maupun dari seluruh pustaka ilmiah mengenai negerinya. Penggunaan bahasa Belanda tentu saja masih dipertahankan secara tidak resmi di kalangan mereka yang telah menyelesaikan studi sebelum tahun 1942, dan ada sekedar upaya untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkan pustaka Universitas yang diperlukan. Meski demikian, pemutusan itu tetap menimbulkan dampak sangat buruk. Kebijakan itu baru dihapuskan setelah tahun 1969, jadi hampir 25 tahun setelah kemerdekaan, dan pada saat bahasa Inggris sudah mengantikan bahasa Belanda sebagai bahasa asing pertama . Hanya satu yang di sayangkan adalah keterputusan intelektual, karena pada masa itu text-book yang dipakai masih banyak yang berbahasa Belanda.
Namun, apakah persoalan ini menjadi masalah serius dalam konteks keilmuan kontemporer? Saat ini yang menjadi lingua franca internasional adalah Bahasa Inggris. Bahasa Belanda, jangankan jadi bahasa ilmiah internasional, masuk bahasa resmi United Nation aja ngak (yang masuk bahasa resmi PBB yaitu, Inggris, Mandarin, Perancis, Rusia, Arab, Spanyol).
Jadi kita bisa mengucapkan syukur karena pada masa pelarangan pengajaran Bahasa Belanda, para ahli bahasa kita semakin memassifkan dan menguatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sehingga, sebagai bangsa yang besar kita bisa berbangga memiliki bahasa sendiri yang menjadi pemersatu di berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara.
Penjajah tetaplah penjajah, siapapun itu? Mau , Inggris, Belanda, Spanyol, Portugis, Perancis, semua tetap meninggalkan luka mendalam dalam alam bawah sadar historis bangsa terjajah. Meskipun upaya menghilangkan beban psikologis itu sudah dimulai sejak awal oleh founding father kita, tetap saja sampai saat ini “penyakit inlander” itu belum hilang dari memori bangsa Indonesia.
Tionghoa Pada Masa Demokrasi
Seperti kita ketahui setelah jatuhnya pemerintahan rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto yang sangat otoriter dan berlangsungnya reformasi serta berkembangnya demokrasi, posisi etnis Tionghoa di Indonesia semakin lama semakin baik. Nyaris seluruh undang-undang dan peraturan yang rasis dan diskriminatif peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto telah berhasil dilikuidasi. Dimulai dengan dicabutnya seluruh larangan-larangan yang memojokkan etnis Tionghoa termasuk larangan melakukan ritual agama dan adat istiadat dan budaya Tionghoa secara terbuka serta larangan bahasa dan aksara Tionghoa oleh Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Kemudian disusul keluarnya Keputusan Presiden Megawati yang menyatakan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur nasional dan yang terakhir agama Khonghucu dikembalikan menjadi agama resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Dalam situasi yang semakin kondusif ini maka lahirlah berbagai organisasi-organisasi Tionghoa di Indonesia. Pertama organisasi-organisasi Tionghoa yang dibentuk oleh golongan peranakan. Ada yang berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), ada partai politik seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) dan Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI). Ada juga organisasi massa yang dibentuk oleh campuran golongan peranakan dan totok seperti Panguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI). Organisasi-organisasi ini ada yang masih bertahan, aktif bahkan berkembang tetapi ada juga yang sudah mengendur bahkan ada yang sudah nyaris mati. .
Setelah pemerintahan Soeharto tumbang berbagai hak orang cina atau orang tionghoa ini di kembalikan mereka di perkenankan merayakan berbagai kegiatan Kebudayaan dan keagamaan. Perjuangan orang cina dalam menegakan kedaulatan bangsa indonesi di bahas lagi. Dengan kata lain orang tionghoa atau orang cina ini bebas berekspresi.
Melihat apa yang terjadi di masa pemerintahan soeharto itu, marilah kita di masa demokrasi ini yang semuanya semakin baik, di harapkan saling mengevaluasi diri baik orang tionghoa maupun bumi putra, dan juga dalam tingkat kelompok atau masyarakat dan juga harus adanya saling keterbukaan dari hati yang menginginkan kehidupan yang harmonis di dalam masyarakat. Hal ini jaganlah semata mata terpokus ke pada suku pendatang dari cina saja tetapi bagi seluruh suku yang ada di Indonesia ini. Agar hubungan harmonis yang ada di dalam masyarakat indonesia secara umum dan di Jambi secara khusus dapat selalu terjalin denga baik.
2.2. Sejarah Masyarakat Tionghoa Di Jambi
Pantai timur Sumatera berada dalam posisi yang sangat menguntungkan dalam jalur pelayaran dan perdagangan di masa lampau ketika dunia pelayaran masih bergantung pada sistem angin muson yang berubah-ubah arah tujuannya setiap enam bulan. Di kawasan ini lalu lintas dari segala arah bertemu untuk menantikan angin yang cocok agar bisa melanjutkan perjalanannya. Tidaklah mengherankan jika pantai ini dianggap sebagai pantai niaga yang disenangi di kawasan barat Indonesia.
Kedudukan Jambi dalam hal ini tidak kalah dari tetangganya Palembang, Indragiri, Riau,dsb. Yang juga memanfaatkan posisi yang menguntungkan itu. Jadi disamping lokasi geografis yang menguntungkan, ada faktor-faktor lain yang ikut memainkan peranan sehingga yang satu ternyata lebih menonjol dari yang lain, sebagaimana telah dibuktikan oleh jalannya sejarah kawasan ini. ( Http://www.geogle.co.id. Matius. 2009 ).
Temuan arkeologi atau sejarah lainnya dapat dikatakan sedikit sekali itupun sudah memasuki abad IV melalui informasi dari berita – berita Cina terhadap utusan – utusan Melayu Chan-pi, Suwarnabhumi atau San-fo-tsi ( Http://www.geole.co.id. Junaidi T Noor. Cerita Perahu Kajang Luko. Di akses tgl 24 November 2009 ).
Kerajaan pada masa pra-Sriwijaya seperti Ge-ying dan Gan-tuo-li telah memanfaatkan lokasi yang menguntungkan ini dan merupakan bandar pelabuhan bagi pelayaran dan perdagangan masa awal. Para pakar memperkirakan bahwa lokasinya harus dicari di pantai timur Sumatera, walaupun belum dapat dipastikan dengan tepat apakah letaknya di Jambi atau di Palembang. Lain halnya dengan shi-li-fo-shi dan Mo-luo-you yang diberitakan oleh yi-jing pada abad VII yang masing-masing diidentifikasikan oleh para pakar sebagai Sriwijaya dan Melayu dan ditempatkan di Palembang dan Jambi. Dari berita Yi-jing itu diketahui bahwa Mo-luo-you telah menjadi Shi- li-fo-shi, dengan kata lain, Jambi telah masuk Sriwijaya walaupun ibukotanya masih berada di Palembang. Namun diperkirakan pula bahwa pusat kerajaan Sriwijaya dapat berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat tertentu. Misalnya, pada paro kedua dari abad XI para pakar memperkirakan bahwa ibukota Sriwijaya telah bertempat di Jambi.
Dalam perdagangan terbuka pada abad ke XIV, di mana bertalian erat dengan saling ketergantungannya antara perdagangan rempah-rempah, bahan makanan, dan komoditi lainya, seperti bahan pakaian, pecah belah, dan lain-lain. Cina melakukan hubungan dagang dengan Jambi yaitu lada. Jadi Jambi merupakan daerah yang sudah lama di kenal dengan bangsa Cina ( Sartono Kartodirdjo. 1987: 79 ). Jambi muncul sebagai pengekspor lada terbesar karena daerah pedalamanya sampai ke minangkabau adalah penghasil lada. Sehingga Portugis dan VOC tidak mengingginkan Jambi jatuh ke tangan Aceh yang pada saat itu Aceh menginginkan pelabuhan yang di miliki Jambi, karena Jambi merupakan pelabuhan Ekspor Lada dan pengimpor beras dan garam ( Sartono Katodirdjo. 1987 : 109-112 ).
Ini membuktikan bahwa pelayaran orang Cina ke daerah ini semakin banyak, dan mencerminkan pula keramaian pelayaran di kawasan ini yang semakin meningkat. Jika sebelumnya pelayaran Cina dan orang asing lainnya dihubungkan dengan perdagangan antara negeri Cina dengan India dan kawasan Asia barat-jadi kawasan ini hanya berperan sebagai tempat singgah dalam jalur sutera -, kini pengunjung asing itu sengaja berlayar kesini untuk berdagang, yakni mempertukarkan barang impor (kain sutera dan keramik dari Cina, tekstil dari India, dsb). Dengan hasil kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi, dll. Dengan kata lain jalur sutera telah melebur dengan jalur rempah-rempah. ( Http://www.geogle.co.id. Matius. Wikipedia Indonesia. 2009 ).
Jambi Yang merupakan daerah bagian sumatra yang posisinya sangat strategis dalam jalur lintas perdagangan pada zamannya. setiap kapal dagang yang ingin melakukan perdagangan secara otomatis pasti melintas di daerah kawasan jambi. Dan juga jambi merupakan daerah yang memiliki beberapa kerajaan besar dan kecil di antaranya. Melayu, zabah, kuntala, sebo, dll. Yang memiliki peranan di dalam daerah jambi pada zamannya. Apalagi kerajaan sriwijaya yang terkenal itu masih belum jelas keberadaannya apakah di Palembang atau di Jambi. Banyak bukti-bukti tertulis yang di temukan di palembang yang memperkuat bahwa kerajaan sriwijaya di palembang tetapi jambi juga mempunyai bukti-bukti yang berbentuk geografis dan peninggalan-peninggalan yang lainnya. Para bidsu dari tiongkok yang ingin memperdalam agama budhanya mereka memperdalam bahasa sangsekerta di sriwijaya untuk modal saat tiba di India. Jambi yang memiliki puluhan tempat beribadah bagi agama budha dan memiliki puluhan bahkan ratusan para bidsu yang dapat membantu atau mengajarkan agama dan bahasa sangsekerta. Dari dua hal tersebut sangatlah wajar kalau orang tionghoa pasti ada di jambi dan secara tidak langsung akan terdapat perkampungan orang tionghoa di jambi.
Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui sejak kapan dan siapa orang Tionghoa pertama yang datang ke Jambi. Tetapi yang pasti, sejak zaman kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan Melayu, penduduk Jambi telah menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Tionghoa. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa menempati daerah sekitar Sungai dan pantai sebagai tempat tinggal sekaligus tempat berdagang, hal itu disebabkan sungai menjadi jalur transportasi perdagangan.
Pemusatan pemukiman orang-orang Tionghoa memang pada awalnya terjadi karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati daerah-daerah strategis sepanjang aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan, hal ini karena orang Tionghoa sangat menyukai bidang bisnis atau berdagang ( Jambi Independent. 2009 : 14 ).
Ghetto, tempat kehidupan sehari-hari orang yahudi yang di pencilkan, dapat di bandingkan dengan pemukiman-pemukiman khusus yang di bangun oleh orang-orang tionghoa bagi mereka sendiri di banyak kota. Banyak orang, baik orang luar ataupun orang Indonesia itu sendiri, menggambarkan orang tionghoa sebagai kelompok daerah kota yang paling menonjol. Barangkali akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa golongan pribumi Indonesia yang ada di Kota Jambi itu lebih banyak terpusat di daerah pedesaan dan golongan penduduk tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota dari apa yang sebenarnya ( Coppel,Charles. 1994 : 27 ).
Salah satu bukti sejarah Tionghoa yang ada di Kota Jambi ini adalah klenteng Siaw San Teng yang merupakan klenteng tertua dan terbesar di Provinsi Jambi yang terletak di daerah Kampung Manggis Kota Jambi.

Klenteng Siaw San Teng Sekarang
Klenteng ini didirikan pada tahun 1881 itu terlihat dari tulisan kaligrafi Cina kuno berisi pantun Cina yang hingga saat ini masih bertengger di dinding kelenteng.

Kaligrafi Cina Kuno
Yang betengger di dinding klenteng Siaw San Teng

Kaligrafi itu telah berumur sekitar 150 tahun. Memiliki banyak makna dan hanya dimengerti sebagian kecil warga Tionghoa. plakat itu didatangkan langsung dari daerah Tiongkok dan telah ada sejak kelenteng didirikan sekitar 1881. Jadi itu bukti sejarah Cina kuno yang masih disimpan dengan sangat baik di dalam kelenteng yang juga merupakan kelenteng terbesar di Kota Jambi itu. “Ini akan kita simpan dengan baik, tidak ada yang boleh membeli atau membawa pulang bukti sejarah ini. Meskipun tidak banyak yang mengetahui makna dan artinya, ini merupakan salah satu benda penting dan bersejarah yang hanya ada di kelenteng ini dan bukti bersejarah masyarakat tionghoa di kota Jambi secara umum. Menurut Apong, pengurus Kelenteng Siu San Teng, Satu huruf saja bisa memiliki banyak makna. Di Kota Jambi sendiri, hanya beberapa orang yang bisa mengerti arti tulisan itu. Saya saja tidak terlalu mengerti makna dari tulisan tersebut ( Http://www.geogle.co.id. Surya Elviza.Berumur 150 tahun, menjadi bukti sejarah. di akses tgl 15 November 2009 ). Didirikannya tempat beribadah ini adalah bukti bahwa pada tahun 1881 sudah banyak masyarakat tionghoa yang tinggal di kota Jambi ini.
Perkawinan
Perkawinan itu menutup masa bujang dan gadis pada kehidupan seseorang, orang tionghoa baru di anggap dewasa setelah dia menikah. Karena itulah upacara perkawinan harus mahal, rumit dan agung, hal ini untuk menjadikan perkawinan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang ( Kiang Kang-hu. 1935 : 215 ).
Upacara perkawinan orang tionghoa yang ada di kota jambi tergantung dengan agama atau kepercayaan yang mereka anut. Karena itu upacara perkawinan orang tionghoa yang ada di kota jambi ini berbeda satu dengan lainya. Sampai pada saat ini perkawinan di atur oleh orang tua kedua belah pihak.
Perkawinan orang pribumi dengan tionghoa di kota Jambi ini memamg ada tetapi sangat sedikit. Mungkin di karenakan latar belakang yang berbeda. Seperti perbedaan agama. Memang setiap di suatu wilayah, masyarakat pendatang lebih merasa tinggi derajatnya dari masyarakat pribumi. Contonya para penjajah.
Sekarang ini perkawinan antara pribumi dengan etis tionghoa boleh-boleh saja tidak ada larangan, bahkan sudah banyak kita lihat dalam kehiupan sehari-hari dimana satu keluarga dengan suku bangsa yang berbeda, dengan satu catatan harus di restui oleh kedua keluarga karena hal ini menyangkut keturunan yang akan mereka dapatkan ( Wawancara. Edi. 2009 ).
Orang Tionghoa yang tidak mau Berubah
” Sekali Tionghoa Tetap Tionghoa ” Keseragaman yang kuat, ras yang bersatu, terpisahkan oleh lautan dan tapal batas, pada hakekatnya adalah rakyat yang sama-sama mewarisi peradaban Tionghoa. Mitos mengenai keseragaman dan tidak berubahnya sikap kepala batu orang Tionghoa perantauan memang ada. Orang tionghoa yang datang ke Indonesia tidak homogen, bahkan sejak mereka tiba di sini. Di satu pihak terdapat ” penduduk Tionghoa yang berakar setempat ” yang baik orang-orang tua maupun anak-anak mereka lahir di Indonesia sehingga orientasi mereka ke tiongkok telah jauh berkurang dan pengaruh budaya Indonesia nyata sekali.
Pada Awal-awal sebelunya imigran dari Cina kebanyakan Laki-laki tetapi apa yang ada di abad ke 20 malah sebaliknya, para imigran Cina yang mendominasi adalah wanita, hal ini telah menghambat akulturasi lebih lanjut dari penduduk tionghoa. Khususnya, perimbangan jumlah wanita yang bertambah di antara para imigran, sehingga banyak keluarga yang kedua orang tuanya berasal dari Tiongkok. Ini mengakibatkan semakin berkembangnya perasaan kebangsaan nasional dan nasionalisme tiongkok menjalar di antara penduduk tionghoa di Indonesia dan bahasa serta kebudayaan tiongkok berkembang di kalangan imigran dan anak-anak mereka dengan adanya sekolah-sekolah dengan berbahasa tionghoa . jadi. Karena pada waktu itu kesadaran nasional juga sedang bangkit di kalangan penduduk Indonesia, kaum minoritas tionghoa pun menjadi semakin sadar dan bangga akan ketionghoaanya. Proses ini mendorong kemajuan tertentu di kalangan peranakan tionghoa. Oleh sebab itu pada abad ke 20 ini, penduduk tionghoa semakin menjadi ” Tionghoa ” dan dimata orang Indonesia menjadi semakin ”asing” walaupun sebelumnya telah terjadi akulturasi yang sesungguhnya.
Banyak orang yang mengatakan, yang dapat mempercepat asimilasi di kalangan tionghoa adalah dengan masuk ke agama islam, karena agama islam telah diterima secara meyakinkan sebagai agama oleh sebagian besar penduduk indonesia. Namun di zaman modern ini sangat sedikit yang mau memeluk agama islam, berbagai alasan telah di utarakan, karena masuk agama islam di tuntut pengorbanan fisik contohnya khitanan atau sunat dan larangan makan daging babi, padahal daging ini salah satu makanan yang di sukai orang tionghoa. Dan juga dari kalangan tionghoa banyak yang beranggapan bahwa hanya di dalam nama saja yang islam, ini dilihat dari sebagian kelompok besar di jawa ( kaum islam abangan ). Apapun yang menjadi alasan mengapa sedikit sekali orang tionghoa yang menjadi muslim, walaupun ini tidak dapat mendukung pandangan bahwa mereka itu memegang dengan gigih agama tradisional mereka. Selain islam agama kristen baik katolik ataupun protestan menjadi pilihan mereka yang sangat relatif. Menurut pandangan kaum muslim keterasingan orang tionghoa di perkuat oleh keadaan mereka yang tidak mempercayai agama-agama resmi.
Dalam Kebudayaan Tionghoa banyak sekali simbol yang mempunyai arti dan maknanya, seperti binatang yang di jadikan simbol dan membawa hoki seperti, Burung Bangau, Liong atau Naga, Burung hong, Kijang, Ikan dan kupu-kupu. Binatang tersebut ada yang di pelihara, tapi yang tak lagi hidup di zaman sekarang seperti Naga, biasanya dimiliki dalam bentuk gambar atau bisa juga dalam bentuk tulisan atau barang-barang lainya. Binatang yang di jadikan simbol ini mempunyai arti tersendiri khususnya burung bangau merupakan hewan yang melambangkan panjang umur, pasalnya hewan ini memang bisa hidup selama ratusan tahun. Binatang Liong atau Naga melambangka kekuasaan atau kerajaan. Arti simbol ini mulai memudar seiring perkembangan zaman, banyak generasi muda Tionghoa yang tidak mengetahui lagi arti dan makna simbol tersebut, kalaupun ada dia hanya mengerti arti simbol-simbol umum saja seperti lilin dan garu.
Kalau di lihat dari apa yang di katakan di atas masyarakat muda Tionghoa di kota Jambi saat ini mereka kurang seperempat dari masyarakat Tionghoa, mereka sudah buta huruf, bahasa dan kebudayaan dari nenek moyangnya. Jadi mereka di golongkan sebagai orang Tionghoa karena kondisi warna kulit dan ciri-ciri lainya.
Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Di Kota Jambi
Menurut Soejono Soekanto, Masyarakat yang hidup di suatu komunitas mencakup ruang tempat suatu masyarakat hidup, konteks ini merujuk pada suatu ajaran filsafah, bahwa Negara mawa tata, desa mawa cara. Artinya bahwa meskipun suatu komunitas mengaku dirinya sebagai genre dari suatu komunitas tertentu, maka ia akan memberikan corak yang berbeda jika dia hidup di dalam komunitas yang berbeda. Misalnya, orang batak yang hidup di tanah batak, akan berbeda dengan otang batak yang hidup di tanah jawa. Maka dari itu dapatlah di ambil kesimpulan masyarakan tionghoa yang tinggal dan hidup di kota Jambi sangatlah berbeda dengan orang Tionghoa yang hidup di daratan Cina atau di daerah kawasan Indonesia lainnya.
Modernisasi baik langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi masyarakat terhadap nilai-nilai dasar yang berkembang dalam suatu komunitas . Oleh sebab itu masyarakat harus menjaga segala sesuatu norma, nilai atau simbol-simbol yang penting yang tidak dapat di pisahkan lagi dari masyarakat yang ada agar tidak di tinggalkan. Dalam masyarakat modern ini seseorang selalu di hadapkan dengan segala macam kegiatan baik bisnis, profesi, politik dan lain-lain. Dengan keadaan seperti inilah seseorang harus memilih mana dan di saat mana yang perlu di perhatikan dan di utamakan dari yang lain. Oleh karena itu manusia modern haru lebih menggunakan rasio atau akal pikiranya untuk kehidupan di dalam masyarakat, karena dengan akal pikiranya manusia dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, mana yang hak dan yang bukan haknya, mana yang halal dan haram, mana yang baik dan tidak.
Orang Tionghoa yang ada di kota Jambi ini dalam menghadapi kahidupannya sehari-hari menggunakan suatu Hu ( jimat) yang di lakukan secara turu temurun. Jimat ini ada dua macam warna yaitu yang berwarna merah dan kuning yang mempunya arti tersendiri. Hu (jimat) itu harus di bacakan mantra kalau tidak sama saja dengan kertas biasa. Hu (jimat) yang Pertama berwarna Merah yang di tempelkan di depan pintu rumah. Itu sebagai keselamatan agar tidak ada roh-roh ataupun aura jahat yang ada di rumah tersebut kaluar dari rumah. Hu yang ke Dua berwarna Kuning, Hu ini di tempelkan pada altar tempat sebahyang. Hu ini sebagai pegganti patung dewa yang ada di altar.
Dalam Kebudayaan Tionghoa banyak sekali simbol yang mempunyai arti dan maknanya, seperti binatang yang di jadikan simbol dan membawa hoki seperti, Burung Bangau, Liong atau Naga, Burung hong, Kijang, Ikan dan kupu-kupu. Binatang tersebut ada yang di pelihara, tapi yang tak lagi hidup di zaman sekarang seperti Naga, biasanya dimiliki dalam bentuk gambar atau bisa juga dalam bentuk tulisan atau barang-barang lainya. Binatang yang di jadikan simbol ini mempunyai arti tersendiri khususnya burung bangau merupakan hewan yang melambangkan panjang umur, pasalnya hewan ini memang bisa hidup selama ratusan tahun. Binatang Liong atau Naga melambangka kekuasaan atau kerajaan. Arti simbol ini mulai memudar seiring perkembangan zaman, banyak generasi muda Tionghoa yang tidak mengetahui lagi arti dan makna simbol tersebut, kalaupun ada dia hanya mengerti arti simbol-simbol umum saja seperti lilin dan garu.
Kalau di lihat dari apa yang di katakan di atas masyarakat muda Tionghoa di kota Jambi saat ini mereka kurang seperempat dari masyarakat Tionghoa, mereka sudah buta huruf, bahasa dan kebudayaan dari nenek moyangnya. Jadi mereka di golongkan sebagai orang Tionghoa karena kondisi warna kulit dan ciri-ciri lainya.
Tionghoa Pada masa pemerintahan orde baru
Bangsa Indonesia kalau kita perhatikan sangatlah unik, karena merupakan berbagai campuran suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara, di tambah lagi dengan adanya suku pendatang seperti dari cina, arab india serta eropa.
Orde Baru, pada masa pemerintahan soeharto, orang Tionghoa di Indonesia di perlakukan seperti bangsa peria. Berbagai kegiatan mereka di batasi. Sekolah ekslusif orang cina di bubarkan. Media masa dalam bahasa cina di larang. Bahkan kegiatan keagamaan orang cina pun di persulit, kadang di larang secara halus. Di masa pemerintahan orde baru ini, memang ada sekelompok orang cina mendukung komunisme. Yakni parta politik Baperki. Tetapi banyak pula yang menyerang bahkan membela negara indonesia ini dari komunis dan juga berjuang keras dari penjajahan yang di lakukan Belanda di indonesia. Tetapi apa yang terjadi masa revolusi pemerintah militer main pukul rata. Yang menganggap orang cina adalah pendukung komunis dan harus di berantas . akibatnya masyarakat cina ini di larang melakukan kegiatan keagamaan dan kebudayaan . Dan juga pada masa pemerintahan Orde Baru ini pemerintah Soeharto menerapkan pelarangan penggunaan aksara hingga nama Tionghoa. Tetapi apa yang di dapat konflik dan diskriminasi sosial tidak bisa di atasi.
Bahkan ketika jatuhnya rezim soeharto banyak toko-toko orang tionghoa yang di jarah barang-barang daganya oleh penduduk pribumi. Kejadian itu sangat memukul hati dan perasaan masyarakat tionghoa yang ada di indonesia ini, padahal tidak sedikit peran dari masyarakat tionghoa sendiri yang mempunyai konstribusinya bagi kemerdekaan bangsa indonesia.
Tionghoa di masa VOC
Pada zaman VOC, belum ada peraturan tentang kewarganegaraan pada waktu itu. Perbedaan bukan dilakukan antara warga negara dan “ orang Asing “. VOC lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir atau lain-lain kriteria, apakah orang itu pejabat VOC atau orang bebas atau orang budak. Apakah itu orang kristen dan orang bukan kristen. Apabila orang-orang tionghoa pada zaman VOC, menggap dirinya bangsa tionghoa dan mengaku sebagai bengsa tionghoa, sah-sah saja, sebab pada waktu itu negara kesatuan republik Indonesia ( NKRI ) belum ada. VOC tidak menggap mereka sebagai bangsa belanda. Tetapi negeri Tiongkok pada masa “Dinasti Manchu” menganut azas ius sanguinus, menggap semua rakyat yang merantau ke luar negri tetap merupakan bangsa Tionghoa
Kemudian dari VOC beralih ke pemerintahan Hindia Belanda, pada kitab undang-undang dasar Hukum Perdata Belanda tahun 1883. peranakan Tionghoa ( orang-orang tionghoa yang di lahirkan di Hindia Belanda ) di anggap sebagai orang belanda, tetapi hanya sebatas hukum perdata. Dalam hal-hal lain di anggap warga asing. Meskipun peranakan tionghoa mendapatkan status Civiel Nenderlander, dalam praktek sehari-hari mereka di perlakukan sebagai orang asing, sedangkan negeri leluhurnya, waktu itu di nasti Machu tetap menganggap mereka sebagai warga negara tionghoa, sebagai bangsa Tionghoa. Maka apabila orang-orang tionghoa pada waktu itu, menyatakan diri mereka sebagai bangsa Tionghoa, dapat di benarkan.
Tahun 1909, pemerintah tiongkok sudah berubah dari “ Dinasti Manchu “ menjadi “ Chung Hua Ming Kuo “ DPR Republi Of China pada waktu itu menetapkan undang-undang kewarganegaraan tiongkok. Di dalamnya di nyatakan bahwa rakyat Tionghoa dalam perantauan tetap warga negara Republik Of China, bahkan dari total 274 kursi DPR, 6 kursi di sediakan bagi Tionghoa perantauan.
Tahun 1910, Pemerintahan Hindia Belanda menetapkan UU kekaulanegaraan Belanda tahun 1910 itu menganut azas ius soli ( berdasarkan tempat kelahiran ). Jadi semua orang yang di lahirkan di wilayah Hindia Belanda di pandang sebagai kaula negara belanda bukan warga negara belanda. Dengan demikian apabila pada waktu itu ada orang-orang tionghoa di Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bangsa Tionghoa, tidak dapat di salahkan.
Sejarah Kedatangan Orang Tionghoa Di Nusantara
Pada awal aba ke 17, sebelum kolonialis belanda datang ke indonesia, bangsa Indonesia dengan tiongkok telah terlibat dalam hubungan perdagangan. Hubungan ini telah di mulai sejak datangnya di nasti Han ( 206 SM – 220 M ). Pada masa ini, tiongkok telah membuka jalur perdagangan dengan negara- negara yang ada di kawasan asia tenggara. Sampai saat ini belum dapat dipastikan siapa orang Cina yang pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara ini, Fa Hian seorang penedeta Cina ( 400 M ) dalam perjalanan pulang dari india ke Cina dia singgah di pulau jawa selama lima bulan ( cator,1936:2) Fa Hian melaporkan pada saat itu belum ada orang cina di Jawa. It Sing pengelana Cina yang melewati nusantar pada tahun 671-692 dia melaporkan telah berdiri kerajaan Ho-Ling. Ho-Ling di duga adalah kerajaan Kalingga ( Vlekke,1967:27-30 ). Sampai abad ke XIII M hubungan orang Cina dan Nusantara hanya berupa kunjugan pendeta, pada masa dinasti Tang ( 618-907 ) ditemukan diskripsi bahwa seorang raja Cina menerima upeti dari kerajaan Sumatra ( Sanbotsai ) ( Heri,Purwanto. 2005: 39 ).
Berdasarkan catatan sejarah dalam buku tang-baru-bangsa-bangsa asia di selatan, di sebutkan bahwa hubungan antara kerajaan sriwijaya dan tiongkok memiliki ke istimewaan. Pada saat itu, banyak bitsu dari tiongkok yang berkunjung ke sriwijaya untuk melakukan pertukaran budaya seni, serta untuk belajar bahasa sangsekerta. Pada saat itu sriwijaya mengguasai jalur utama lalu lintas di semenanjung malaya bahkan merupakan salah satu kerajaan terbesar di asia tenggara dan merupakan pusat penelitian bagi agama budha di kawasan asia tenggara pada abad ke-7, banyak bidsu dari tiongkok memper dalam agama budhanya di india, sebelum ke india sering singgah di sriwijaya terlebih dahulu untuk mempelajari bahasa sangsekerta untuk beberapa waktu, dan tidak sedikit juga para bidsu menetap di sumatra dan jawa. ( Hembing. 2005 : 19 )
Hubungan antara Tionghoa dengan Indonesia setelah adanya laksamana Cheng-Ho ke nusantara pada abad ke 15, pada saat itu cheng-Ho menjalankan misi dari kaisar Cheng-Zhu untuk menjalankan politik kerukunan dan persahabatan dengan bangsa-bangsa asing, termasuk nusantara. Pada saat kedatangan Cheng-Ho ke nusantara sudah banyak Orang tionghoa yang bertempat tinggl di Jawa, Kalimantan, dan sumatra. Jumlah imigran semakin bertambah ketika terjadi penyerangan bangsa manchu terhadap dinasti Ming, sehingga banyak penduduk tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari peperangan, jika pada tahun 1628 jumlah penduduk tiongkok berjumlah 3000 jiwa, maka pada saat tahun 1739 meningkat menjadi 10.574 jiwa. ( Hembing. 2005: xii )
Jawa dan sumatra temasuk jalur perdagangan. Lambat laun, banyak penduduk tiongkok yang bermigrasi ke kepulauan nusantar, baik para pedagang ataupun pendeta. karena daerah nusantara sangat subur di bandingkan dengan negeri tiongkok yang tandus serta kerap terjadi peperangan dan bencana alam.
Gelombang imigrasi orang tionghoa ( terutama daerah selatan seperti Fujian, Guangdong, Hainan dan Teochew ) ke Indonesia sekitar abad ke 19 dan membawa banyak percampuran budaya. Termasuk arsitektur, hal ini karena beberapa kelompok imigran Cina adalah para tukang ahli kayu dan ukir-ukiran ( Http//: Fadila75@Yahoo.com. Di akses april 2009 ).

Kebanyakan imigran tiongkok yang bermigrasi adalah laki-laki dan mereka tidak membawa istri dari negeri asalnya, maka mereka di negeri Nusantara ini menikahi penduduk setempat dan menetap di nusantara ( Leo. 1994 : 20 ). Oleh karena itu munculah Tionghoa peranakan yang kemudian merasa lebih menjadi orang indonesia, sebab mereka lahir, besar, bekerja, dan meninggal di bumi nusantara, bahkan sebagian besar mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, serta menganggap indonesia sebagai tanah airnya sendiri.
Para imigran ini dapat berdampingan dengan penduduk setempat, mereka bersamam-sama memajukan ekonomi daerah yang mereka tempati, bahkan keberadaan mereka sangat membantu bagi pertumbuhan perkembangan daerah setempat, sebab mereka membawa dan memperkenalkan teknologi dari negrinya, seperti pembuatan gula, tebu, Mie, bihun, kecap, penyulingan alkohol, serta pembuatan alat rumah tangga. warga etnis tionghoa sangat rajin bekerja di segala bidang kehidupan misalnya sebagai pedagang, petani, pandai besi, tukang kayu, dan kuli pertambangan ataupun perkebunan. Mereka hidup damai dan saling berdampingan, tidak pernah terjadi konflik pada saat itu apalagi yang di sebabkan oleh masyarakat tionghoa. Sehingga akhirnya pada saat kedatangan belanda ( VOC ) di nusantara ini merusak semua tatanan sosial yang telah di jaga dengan baik di bumi nusantara ini. Tujuan warga tionghoa migran untuk mencari nafkah, tetapi telah di tafsirkan oleh Belanda sebagai bentuk lain dari kolonialisasi di bumi nusantara ( Hembing. 2005 : xii ).
Penindasan yang di lakukan penjajahan belanda terhadap orang tionghoa sangatlah membuat kehidupan sosial masyarakat indonesia hancur, bahkan pernah terjadi bentrokan rasial yang di kenal dengan peristiwa Kudus pada akhir bulan Oktober 1918. Peristiwa itu merupakan ungkapan dari para pedagang Islam dan Tionghoa serta prasangka rasial yang sudah lama terpendam, yang mengakibatkan sebelas orang korban, rumah-rumah di daerah itu terbakar habis, kebanyakan Pers pribumi menyalahkan orang-orang tionghoa, sebaliknya orang Tionghoa menyalahkan Pribumi. Dua haria Sin Po dan Djawa Tengah menyalahkan belanda karena tidak melindungi orang-orang tionghoa ( Leo Suryadinata. 1994 : 40).
Pemerintah Kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni kelas satu untuk golongan eropa, kelas dua golongan timur asing, dan yang ke tiga golongan pribumi masalah inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik sosial di masa-masa kemudian ( Http//: Fadila75@Yahoo.com. Di akses april 2009 ).
Politik Devide Ef Infra yang di terapkan Belanda sangatlah membuat bangsa indonesia ini hancur di semua sektor. Soekarno mengajak orang Tionghoa untuk melawan penjajahan Belanda melalui tulisanya pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa Paham Indonesia tidak bertentangan dengan paham asia. Sebaliknya paham Indonesia adalah paham Asia, kemenangan orang Asia atas Imperialis barat adalah juga kemenangan bagi Indonesia. Dan juga pada awal tahun 1928 surat kabar Tionghoa peranakan Soeara Publiek, yang dewan redaksinya di pimpin oleh Liem Koen Hian, mengemukakan gagasan “ Kewarga Negaraan Hindia Belanda “ bagi orang-orang Tionghoa peranakan. Menurut pendapatnya tionghoa peranakan yang memandang Hindia Belanda sebagai Tanah airnya mereka harus di beri status hukum pribumi, dan oleh sebab itu mereka berhak memiliki tanah dan bukan orang Eropa, dan juga mereka harus mempunyai kewajiban-kewajiban yang sama seperti orang-orang pribumi ( Leo Suryadinata. 1994: 80-82 ).
Meski begitu, sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di Pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin, dan beberapa tempat di Sulawesi.
Suku Hakka tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon, dan Jayapura. Hainan di Riau (Pekanbaru dan Batam) serta Menado.
Suku Hokkien di Jambi, Sumatera Utara, Pekanbaru, Padang, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon. Kantonis (Jakarta, Makassar, dan Menado). Hokchia di Jawa, terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin, Surabaya. Dan Tiochiu di Sumatra Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak. ( Http://jambi-independent.co.id. Usi. Kehidupan suku-suku tionghoa di jambi. di akses tgl 16 Nevember 2009 ).
Masyarakat tionghoa ini sama-sama dengan masyarakat pribumi untuk melawan penjajahan Belanda. Seperti Dalam perang di aceh peran warga tionghoa juga tidak dapat di abaikan, terutama bantuan dari para pedagang tionghoa. Para pedagang tionghoa, selain telah menyulitkan tentara pasukan belanda di aceh dalam penerobosan blokade belanda, juga sebagai pemasok senjata bagi para pejuang aceh. (Toer, Pramudya. 1998 : 128 ).
Perang di ponegoro yang berlangsung selama 5 tahun, menewaskan serdadu belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya sebanyak 20 juta Gulden. Pada awal perang di ponegoro, banyak warga etnis tionghoa yang igin bergabung sebagai anggota perang oleh karena itu penggeran di ponegoro menggeluarkan intruksi agar mereka masuk ke dalam agama islam terlebih dahulu. Peran warga etnis tionghoa dalam perang diponegoro sangat besar, selain sebagai anggota pasukan, terutama dalam penyediaan senjata ( Toer, Pramudya. 1998 : 148 ).
Tindak kekerasan di lancarkan VOC saat itu menyebab lahirnya perjuangan heroik yang di lakukan oleh warga tionghoa, peristiwa ini akhirnya di kenang sebagai peristiwa bersejarah atas keberaniaan warga etnis tionghoa dalam melawan kesewenagan VOC di tahun 1740, yang di sebut sebagi tragedi angke ( Hembing. 2005 : 88 ).
Nasionalisme warga etnis tionghoa sebenarnya sudah terlihat sejak VOC berniat untuk mengguasai banten pada tahun 1753. sumbang sih warga etnis tionghoa kepada perjuangan rakyat banten melawan VOC tidak dapat begitu saja di lupakan. Saat itu banyak warga etnis tionghoa yang sama-sama berjuang dengan penduduk setempat melawan penjajah belanda. Akan tetapi sulit untuk menentukan berapa jumlahnya mereka secara pasti, sebab mereka sudah banyak yang berasimilasi, bukan saja menggunakan nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. Salah satunya yaitu tjong Lin, yang membantu sultan ageng tirtayasa dengan menjadi mata- mata bagi banten, dia akhirnya di tangkap dan di gantung setelah di siksa oleh belanda.
Inilah bukti bahwa sebelum pejajah menguasai negri nusantara ini, masyarakat tionghoa sudah menyatu kedalam bangsa Indonesia dan sangat besar perananya dalam membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Maka dari itu jangan di pandang sebelah mata yang membuat buruk citra masyarakat tionghoa tetapi ingatlah juga apa yang telah meraka lakukan untuk bangsa Indonesia ini. Yang sangat berarti bagi kehidupan kita sekarang.


2.2. Sejarah Masyarakat Tionghoa Di Jambi
Pantai timur Sumatera berada dalam posisi yang sangat menguntungkan dalam jalur pelayaran dan perdagangan di masa lampau ketika dunia pelayaran masih bergantung pada sistem angin muson yang berubah-ubah arah tujuannya setiap enam bulan. Di kawasan ini lalu lintas dari segala arah bertemu untuk menantikan angin yang cocok agar bisa melanjutkan perjalanannya. Tidaklah mengherankan jika pantai ini dianggap sebagai pantai niaga yang disenangi di kawasan barat Indonesia.
Kedudukan Jambi dalam hal ini tidak kalah dari tetangganya Palembang, Indragiri, Riau,dsb. Yang juga memanfaatkan posisi yang menguntungkan itu. Jadi disamping lokasi geografis yang menguntungkan, ada faktor-faktor lain yang ikut memainkan peranan sehingga yang satu ternyata lebih menonjol dari yang lain, sebagaimana telah dibuktikan oleh jalannya sejarah kawasan ini. ( Http://www.geogle.co.id. Matius. 2009 ).
Temuan arkeologi atau sejarah lainnya dapat dikatakan sedikit sekali itupun sudah memasuki abad IV melalui informasi dari berita – berita Cina terhadap utusan – utusan Melayu Chan-pi, Suwarnabhumi atau San-fo-tsi ( Http://www.geole.co.id. Junaidi T Noor. Cerita Perahu Kajang Luko. Di akses tgl 24 November 2009 ).
Kerajaan pada masa pra-Sriwijaya seperti Ge-ying dan Gan-tuo-li telah memanfaatkan lokasi yang menguntungkan ini dan merupakan bandar pelabuhan bagi pelayaran dan perdagangan masa awal. Para pakar memperkirakan bahwa lokasinya harus dicari di pantai timur Sumatera, walaupun belum dapat dipastikan dengan tepat apakah letaknya di Jambi atau di Palembang. Lain halnya dengan shi-li-fo-shi dan Mo-luo-you yang diberitakan oleh yi-jing pada abad VII yang masing-masing diidentifikasikan oleh para pakar sebagai Sriwijaya dan Melayu dan ditempatkan di Palembang dan Jambi. Dari berita Yi-jing itu diketahui bahwa Mo-luo-you telah menjadi Shi- li-fo-shi, dengan kata lain, Jambi telah masuk Sriwijaya walaupun ibukotanya masih berada di Palembang. Namun diperkirakan pula bahwa pusat kerajaan Sriwijaya dapat berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat tertentu. Misalnya, pada paro kedua dari abad XI para pakar memperkirakan bahwa ibukota Sriwijaya telah bertempat di Jambi.
Dalam perdagangan terbuka pada abad ke XIV, di mana bertalian erat dengan saling ketergantungannya antara perdagangan rempah-rempah, bahan makanan, dan komoditi lainya, seperti bahan pakaian, pecah belah, dan lain-lain. Cina melakukan hubungan dagang dengan Jambi yaitu lada. Jadi Jambi merupakan daerah yang sudah lama di kenal dengan bangsa Cina ( Sartono Kartodirdjo. 1987: 79 ). Jambi muncul sebagai pengekspor lada terbesar karena daerah pedalamanya sampai ke minangkabau adalah penghasil lada. Sehingga Portugis dan VOC tidak mengingginkan Jambi jatuh ke tangan Aceh yang pada saat itu Aceh menginginkan pelabuhan yang di miliki Jambi, karena Jambi merupakan pelabuhan Ekspor Lada dan pengimpor beras dan garam ( Sartono Katodirdjo. 1987 : 109-112 ).
Ini membuktikan bahwa pelayaran orang Cina ke daerah ini semakin banyak, dan mencerminkan pula keramaian pelayaran di kawasan ini yang semakin meningkat. Jika sebelumnya pelayaran Cina dan orang asing lainnya dihubungkan dengan perdagangan antara negeri Cina dengan India dan kawasan Asia barat-jadi kawasan ini hanya berperan sebagai tempat singgah dalam jalur sutera -, kini pengunjung asing itu sengaja berlayar kesini untuk berdagang, yakni mempertukarkan barang impor (kain sutera dan keramik dari Cina, tekstil dari India, dsb). Dengan hasil kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi, dll. Dengan kata lain jalur sutera telah melebur dengan jalur rempah-rempah. ( Http://www.geogle.co.id. Matius. Wikipedia Indonesia. 2009 ).
Jambi Yang merupakan daerah bagian sumatra yang posisinya sangat strategis dalam jalur lintas perdagangan pada zamannya. setiap kapal dagang yang ingin melakukan perdagangan secara otomatis pasti melintas di daerah kawasan jambi. Dan juga jambi merupakan daerah yang memiliki beberapa kerajaan besar dan kecil di antaranya. Melayu, zabah, kuntala, sebo, dll. Yang memiliki peranan di dalam daerah jambi pada zamannya. Apalagi kerajaan sriwijaya yang terkenal itu masih belum jelas keberadaannya apakah di Palembang atau di Jambi. Banyak bukti-bukti tertulis yang di temukan di palembang yang memperkuat bahwa kerajaan sriwijaya di palembang tetapi jambi juga mempunyai bukti-bukti yang berbentuk geografis dan peninggalan-peninggalan yang lainnya. Para bidsu dari tiongkok yang ingin memperdalam agama budhanya mereka memperdalam bahasa sangsekerta di sriwijaya untuk modal saat tiba di India. Jambi yang memiliki puluhan tempat beribadah bagi agama budha dan memiliki puluhan bahkan ratusan para bidsu yang dapat membantu atau mengajarkan agama dan bahasa sangsekerta. Dari dua hal tersebut sangatlah wajar kalau orang tionghoa pasti ada di jambi dan secara tidak langsung akan terdapat perkampungan orang tionghoa di jambi.
Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui sejak kapan dan siapa orang Tionghoa pertama yang datang ke Jambi. Tetapi yang pasti, sejak zaman kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan Melayu, penduduk Jambi telah menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Tionghoa. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa menempati daerah sekitar Sungai dan pantai sebagai tempat tinggal sekaligus tempat berdagang, hal itu disebabkan sungai menjadi jalur transportasi perdagangan.
Pemusatan pemukiman orang-orang Tionghoa memang pada awalnya terjadi karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati daerah-daerah strategis sepanjang aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan, hal ini karena orang Tionghoa sangat menyukai bidang bisnis atau berdagang ( Jambi Independent. 2009 : 14 ).
Ghetto, tempat kehidupan sehari-hari orang yahudi yang di pencilkan, dapat di bandingkan dengan pemukiman-pemukiman khusus yang di bangun oleh orang-orang tionghoa bagi mereka sendiri di banyak kota. Banyak orang, baik orang luar ataupun orang Indonesia itu sendiri, menggambarkan orang tionghoa sebagai kelompok daerah kota yang paling menonjol. Barangkali akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa golongan pribumi Indonesia yang ada di Kota Jambi itu lebih banyak terpusat di daerah pedesaan dan golongan penduduk tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota dari apa yang sebenarnya ( Coppel,Charles. 1994 : 27 ).
Salah satu bukti sejarah Tionghoa yang ada di Kota Jambi ini adalah klenteng Siaw San Teng yang merupakan klenteng tertua dan terbesar di Provinsi Jambi yang terletak di daerah Kampung Manggis Kota Jambi.

Klenteng Siaw San Teng Sekarang
Klenteng ini didirikan pada tahun 1881 itu terlihat dari tulisan kaligrafi Cina kuno berisi pantun Cina yang hingga saat ini masih bertengger di dinding kelenteng.


Kaligrafi Cina Kuno
Yang betengger di dinding klenteng Siaw San Teng

Kaligrafi itu telah berumur sekitar 150 tahun. Memiliki banyak makna dan hanya dimengerti sebagian kecil warga Tionghoa. plakat itu didatangkan langsung dari daerah Tiongkok dan telah ada sejak kelenteng didirikan sekitar 1881. Jadi itu bukti sejarah Cina kuno yang masih disimpan dengan sangat baik di dalam kelenteng yang juga merupakan kelenteng terbesar di Kota Jambi itu. “Ini akan kita simpan dengan baik, tidak ada yang boleh membeli atau membawa pulang bukti sejarah ini. Meskipun tidak banyak yang mengetahui makna dan artinya, ini merupakan salah satu benda penting dan bersejarah yang hanya ada di kelenteng ini dan bukti bersejarah masyarakat tionghoa di kota Jambi secara umum. Menurut Apong, pengurus Kelenteng Siu San Teng, Satu huruf saja bisa memiliki banyak makna. Di Kota Jambi sendiri, hanya beberapa orang yang bisa mengerti arti tulisan itu. Saya saja tidak terlalu mengerti makna dari tulisan tersebut ( Http://www.geogle.co.id. Surya Elviza.Berumur 150 tahun, menjadi bukti sejarah. di akses tgl 15 November 2009 ). Didirikannya tempat beribadah ini adalah bukti bahwa pada tahun 1881 sudah banyak masyarakat tionghoa yang tinggal di kota Jambi ini.
Pemukiman Orang-orang Tionghoa Di Kota Jambi
Jambi adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau sumatra, kota yang sangat diminati oleh etnis Tionghoa sebagai tempat berdagang dan menetap. Jumlah mereka lebih banyak jika dibandingkan dengan etnis keturunan asing lainnya. Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui sejak kapan dan siapa orang Tionghoa pertama yang datang ke Jambi. Tetapi yang pasti, sejak jaman kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan Melayu, penduduk Jambi telah menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Tionghoa. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa menempati daerah sekitar Sungai dan pantai sebagai tempat tinggal sekaligus tempat berdagang, hal itu disebabkan sungai menjadi jalur transportasi perdagangan.
Awal kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia tentunya berkaitan dengan pertumbuhan jalur perdagangan melalui laut antara Tiongkok dengan Persia dan India. Di dalam konteks ini Asia Tenggara termasuk Indonesia dan khususnya Jambi memainkan peran yang sangat penting karena letaknya yang sangat strategis sebagai jalur perdagangan internasional sehingga Indonesia khususnya Jambi menjadi tempat persinggahan bagi pedagang-pedagang asing termasuk pedagang Tionghoa, bahkan banyak di antaranya yang kemudian tinggal menetap, menikah dengan wanita setempat yang akhirnya pembauran dan asimilasi tak dapat dihindari lagi.
Pemusatan pemukiman orang-orang Tionghoa memang pada awalnya terjadi karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati daerah-daerah strategis sepanjang aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan, hal ini karena orang Tionghoa sangat menyukai bidang bisnis atau berdagang
Ghetto, tempat kehidupan sehari-hari orang yahudi yang di pencilkan, dapat di bandingkan dengan pemukiman-pemukiman khusus yang di bangun oleh orang-orang tionghoa bagi mereka sendiri di banyak kota. Banyak orang, baik orang luar ataupun orang Indonesia itu sendiri, menggambarkan orang tionghoa sebagai kelompok daerah kota yang paling menonjol. Barangkali akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa golongan pribumi Indonesia itu lebih banyak terpusat di daerah pedesaan dan golongan penduduk tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota dari apa yang sebenarnya.
Seperti halnya pemukiman orang Tionghoa yang ada di kota jambi ini yaitu di daerah Tehok, jelutung, talang Banjar dan Kasang. Tempat-tempat ini yang banyak terdapat orang Tionghoanya walaupun masih ada di daerah lain yang ada di kota Jambi ini yang di diami oleh orang tionghoa. Jika kita perhatikan apabila kita melintas di jalur-jalur tempat pemukiman orang Tionghoa ini akan terasa aroma Dupa dan suasananyapun berbeda terasa bukan di daerah Inonesia melainkan di Cina. Karena kita akan melihat di setiap pertokoan atau pedagangan yang banyak kita lihat adalah orang kulit putih dengan mata sipit yaitu orang Tionghoa.
Nasionalis Tionghoa Di Indonesia Terhadap Kemeredekaan Indonesia
Pada saat pelaksaan persiapan hari kemerdekaan, warga etnis tionghoa mempunyai andil yang tidak sedikit, seperti saat pembentukan panitiapersiapan kemerdekaan indonesia dengan ketuanya Ir. Soekarno, terdapat Drs. Yap Tjwan Bing sebagai anggota yang mewakili etnis tionghoa. Hal ini menunjukan bahwa etnis tionghoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. oleh karena itu, tak lagi layak jika di kemudia hari masih ada anggapan bahwa warga etnis tionghoa bukanlah anak bangsa.
Dalam perang di aceh peran warga tionghoa juga tidak dapat di abaikan, terutama bantuan dari para pedagang tionghoa. Para pedagang tionghoa, selain telah menyulitkan tentara pasukan belanda di aceh dalam penerobosan blokade belanda, juga sebagai pemasok senjata bagi para pejuang aceh. Tindak kekerasan di lancarkan VOC saat itu sehingga lahirlah perjuangan heroik yang I lakukan oleh warga tionghoa, peristiwa ini akhirnya di kenang sebagai peristiwa bersejarah atas keberaniaan warga etnis tionghoa dalam melawan kesewenagan VOC di tahun 1740, yang di sebut sebagi tragedi angke.
Perang Di Rembang 1827 perang yang menurut belanda sangat mendadak dan sangat berbahaya. Cepatnya peperangan ini tidak lepas dari bantuan warga etnis tionghoa yang saat itu tinggal di timur remang yaitu Lasem, sebuah pelabuhan tua. Bantuan yang di berikan pada saat itu bukan hanya bantuan personil yang secara aktif bergabung dan membantu pasukan tumenggung sosro dilogo, tetapi juga pasokan senjata yang di selundupkan dari singgapura ke rembang melalui pelabuhan Lasem.
Di Kalimantan Barat, perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda juga banyak di lakukan oleh warga etnis tionghoa, Mereka kebanyakan tinggal di daerah mandor, Montrado, dan lumar yang terdiri atas suku Hok Lo dan Hak ka serta berfrofesi sebagai pendulang Emas. Mereka banyak memperlihatkan sikap permusuhan terhadap belanda, mereka menolak keras atas pembayaran pajak langsung atau membayar cukaibuat mandat dan garamnya. Melihat aksi penolakan ini, pada bulan juni 1825 belanda menggirimkan 600 orang serdadu untuk menghancurkan warga etnis tionghoa.
Perang di ponegoro berlangsung selama 5 tahun, menewaskan serdadu belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya sebanyak 20 juta Gulden. Pada awal perang di ponegoro, banyak warga etnis tionghoa yang igin bergabung sebagai anggota perang oleh karena itu penggeran di ponegoro menggeluarkan intruksi agar mereka masuk ke dalam agama islam terlebih dahulu. Peran warg etnis tionghoa dalam perang diponegoro sangat besar, selain sebagai anggota pasukan, terutama dalam penyediaan senjata.
Nasionalisme warga etnis tionghoa sebenarnya sudah terlihat sejak VOC berniat untuk mengguasai banten pada tahun 1753. sumbang sih warga etnis tionghoa kepada perjuangan rakyat banten melawan VOC teidak dapat begitu saja di lupakan. Saat itu banyak warga etnis tionghoa yang sama-sama berjuang denga pendudu setempat melawan penjajah belanda. Akan tetapi sulit untuk menentukan berapa jumlahnya mereka secara pasti, sebab mereka sudah banyak yang berasimilasi, bukan saja menggunakan nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. Salah satunya yaitu tjong Lin, yang membantu sultan ageng tirtayasa denga menjadi mata- mata bagi banten, dia akhirnya di tangkap dan di gantung setelah di siksa oleh belanda.
Ciri Khas Rumah Tionghoa
Karena penulis ingin meneliti kehidupan masyarakat tionghoa di kota jambi maka hanya di bicarakan di sini bagaimana bentuk dan ciri rumah orang tionghoa yang ada di kota Jambi.
Rumah orang tionghoa ini berhadap-hadapan yang terletak di sepanjang jalan pusat pertokoan, rumah-rumah yang berderetan tersebut merupakan rumah-rumah petek di bawah satu atap, yang pada umumnya tidak mempunyai perkarangan atau halaman rumah. Tetapi perkarangan atau halaman rumah terletak di belakang rumah. Bentuk rumah seperti ini samalah halnya dengan apa yang di kenal dengan Ruko. Dan juga ada yang ganti karangan tersebut, biasanya di bagian tengah rumahnya ada bagian yang tanpa atapnya, berfungsi untuk menanam tanaman, untuk tempat mencuci piring dan menjemur pakaian. Bagian rumah yang depan biasanya di jadikan ruang tamu dan tempat meja abu dan juga biasanya di jadikan toko, sesudah itu ada lorong yang bagian kiri dan kanannya terdapat kamar tidur, di bagian belakang ada dapur dan kamar mandi.
Dalam tiap-tiap perkampungan Tionghoa selalu ada satu atau dua bangunan kuil. Bangunan ini biasanya masih memiliki bentuk yang khas dan kaya akan ukiran-ukiran Cina. Kuil-kuil ini bukanlah sebagai tempat beribadah, tetapi hanya merupakan tempat orang meminta berkah, meminta anak, dan tempat orang memanjatkan sukur, untuk itu ia membakar Hio ( dupa ) kepada dewa yang melindunginya. Besar kecilny kuil tergantung dari kekuatan umatnya untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaanya. Kuil-kuil itu terbagi kedalam tiga golongan yaitu : Kuil Budha, Kuil Tao dan kuil yang di bangun untuk menghormati dan memperingati orang-orang yang telah berjasa bagi masyarakat. Adapun ciri khas rumah tionghoa denga tipe yang kuno adalah bentuk atapnya lancip yang ada di ujung-ujungnya, dan dengan ukir-ukiran yang berbentuk naga. Dan juga tedapat banyak ukir-ukiran pada tiang yang terbuat dari balok dan sebagainya .

bahasa keakraban tionghoa di kota Jambi


Bahasa Keakraban Tionghoa kota jambi
            Bahasa keakraban adalah bahasa yang di gunakan di kalangan atau di lingkunga keluarga dekat dan juga sahabat dekat. Bahasa ini di pakai jika tidak ada lawan bicara di antara bahasa suku lain, maka dari itu bahasa ini menjadi bahasa khusus suatu kelompok yang biasanya tidak di mengerti oleh kelompok lain. Bahasa keakraban ini tentu saja berasal dari daerah asal masing-masing di Cina yang di pakai untuk kalangan sendiri.[1]
            Khususnya di Kota Jambi ini Orang Tionghoa atau orang Cina totok dan peranakan kelas bawah menggunakan bahasa daerah setempat atau bahasa melayu sebagai bahasa keakrababnya, hal ini hanya untuk golongan kelas bawah sedangkan golongan kelas atas atau elit masih menggunakan bahasa daerahnya. Hal ini terjadi di karenakan orang Cina totok ini tak kala miskin datang ke Hindia Belanda, mereka menjadi pedagang eceran yang membuat mereka dekat dengan kaum pribumi. Tetapi ketika mereka mempunyai keturunan bahasa daerahnya sebagai bahasa keakraban yang digunakan di antaranya. Sedangkan golongan elit tidak menggunakan basaha setempat di karenakan mereka jarang berhubungan langsung dengan masyarakat pribumi maka dari itu bahasa daerahnya sebagai bahasa keakrabannya. Tetapi lambat laun yang di sebabkan kemajuan kota Jambi dan banyaknya pendatang dari berbagai daerah membuat golongan elit pun memakai bahasa melayu dalam keakrabannya yang menggabungkan bahasa daerahnya dengan bahasa setempat.[2]
            Jadi menurut penulis bahasa keakraban yang di pakai oleh orang Tionghoa ini samalah dengan bahasa keakraban yang di pakai oleh daerah-darah yang ada di Jambi ini. Contohnya bahasa daerah sarolangun. Tebo, Kerinci, dll. Bahasa ini di gunakan di antara mereka saja ketika tidak ada lawan bicara di antara mereka. Maka dari itu janganlah mengaggap bahwa bahasa Cina adalah bahasa asing.


[1] Gungwu,wang. Cushman,Jennifer. 1991.Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Selatan. Pustaka Utama Grafiti. Hal.134
[2] Wawancara. Thu-sin. Tehok. 9 September 2009.