Jumat, 04 Maret 2011

2.2. Sejarah Masyarakat Tionghoa Di Jambi
Pantai timur Sumatera berada dalam posisi yang sangat menguntungkan dalam jalur pelayaran dan perdagangan di masa lampau ketika dunia pelayaran masih bergantung pada sistem angin muson yang berubah-ubah arah tujuannya setiap enam bulan. Di kawasan ini lalu lintas dari segala arah bertemu untuk menantikan angin yang cocok agar bisa melanjutkan perjalanannya. Tidaklah mengherankan jika pantai ini dianggap sebagai pantai niaga yang disenangi di kawasan barat Indonesia.
Kedudukan Jambi dalam hal ini tidak kalah dari tetangganya Palembang, Indragiri, Riau,dsb. Yang juga memanfaatkan posisi yang menguntungkan itu. Jadi disamping lokasi geografis yang menguntungkan, ada faktor-faktor lain yang ikut memainkan peranan sehingga yang satu ternyata lebih menonjol dari yang lain, sebagaimana telah dibuktikan oleh jalannya sejarah kawasan ini. ( Http://www.geogle.co.id. Matius. 2009 ).
Temuan arkeologi atau sejarah lainnya dapat dikatakan sedikit sekali itupun sudah memasuki abad IV melalui informasi dari berita – berita Cina terhadap utusan – utusan Melayu Chan-pi, Suwarnabhumi atau San-fo-tsi ( Http://www.geole.co.id. Junaidi T Noor. Cerita Perahu Kajang Luko. Di akses tgl 24 November 2009 ).
Kerajaan pada masa pra-Sriwijaya seperti Ge-ying dan Gan-tuo-li telah memanfaatkan lokasi yang menguntungkan ini dan merupakan bandar pelabuhan bagi pelayaran dan perdagangan masa awal. Para pakar memperkirakan bahwa lokasinya harus dicari di pantai timur Sumatera, walaupun belum dapat dipastikan dengan tepat apakah letaknya di Jambi atau di Palembang. Lain halnya dengan shi-li-fo-shi dan Mo-luo-you yang diberitakan oleh yi-jing pada abad VII yang masing-masing diidentifikasikan oleh para pakar sebagai Sriwijaya dan Melayu dan ditempatkan di Palembang dan Jambi. Dari berita Yi-jing itu diketahui bahwa Mo-luo-you telah menjadi Shi- li-fo-shi, dengan kata lain, Jambi telah masuk Sriwijaya walaupun ibukotanya masih berada di Palembang. Namun diperkirakan pula bahwa pusat kerajaan Sriwijaya dapat berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat tertentu. Misalnya, pada paro kedua dari abad XI para pakar memperkirakan bahwa ibukota Sriwijaya telah bertempat di Jambi.
Dalam perdagangan terbuka pada abad ke XIV, di mana bertalian erat dengan saling ketergantungannya antara perdagangan rempah-rempah, bahan makanan, dan komoditi lainya, seperti bahan pakaian, pecah belah, dan lain-lain. Cina melakukan hubungan dagang dengan Jambi yaitu lada. Jadi Jambi merupakan daerah yang sudah lama di kenal dengan bangsa Cina ( Sartono Kartodirdjo. 1987: 79 ). Jambi muncul sebagai pengekspor lada terbesar karena daerah pedalamanya sampai ke minangkabau adalah penghasil lada. Sehingga Portugis dan VOC tidak mengingginkan Jambi jatuh ke tangan Aceh yang pada saat itu Aceh menginginkan pelabuhan yang di miliki Jambi, karena Jambi merupakan pelabuhan Ekspor Lada dan pengimpor beras dan garam ( Sartono Katodirdjo. 1987 : 109-112 ).
Ini membuktikan bahwa pelayaran orang Cina ke daerah ini semakin banyak, dan mencerminkan pula keramaian pelayaran di kawasan ini yang semakin meningkat. Jika sebelumnya pelayaran Cina dan orang asing lainnya dihubungkan dengan perdagangan antara negeri Cina dengan India dan kawasan Asia barat-jadi kawasan ini hanya berperan sebagai tempat singgah dalam jalur sutera -, kini pengunjung asing itu sengaja berlayar kesini untuk berdagang, yakni mempertukarkan barang impor (kain sutera dan keramik dari Cina, tekstil dari India, dsb). Dengan hasil kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi, dll. Dengan kata lain jalur sutera telah melebur dengan jalur rempah-rempah. ( Http://www.geogle.co.id. Matius. Wikipedia Indonesia. 2009 ).
Jambi Yang merupakan daerah bagian sumatra yang posisinya sangat strategis dalam jalur lintas perdagangan pada zamannya. setiap kapal dagang yang ingin melakukan perdagangan secara otomatis pasti melintas di daerah kawasan jambi. Dan juga jambi merupakan daerah yang memiliki beberapa kerajaan besar dan kecil di antaranya. Melayu, zabah, kuntala, sebo, dll. Yang memiliki peranan di dalam daerah jambi pada zamannya. Apalagi kerajaan sriwijaya yang terkenal itu masih belum jelas keberadaannya apakah di Palembang atau di Jambi. Banyak bukti-bukti tertulis yang di temukan di palembang yang memperkuat bahwa kerajaan sriwijaya di palembang tetapi jambi juga mempunyai bukti-bukti yang berbentuk geografis dan peninggalan-peninggalan yang lainnya. Para bidsu dari tiongkok yang ingin memperdalam agama budhanya mereka memperdalam bahasa sangsekerta di sriwijaya untuk modal saat tiba di India. Jambi yang memiliki puluhan tempat beribadah bagi agama budha dan memiliki puluhan bahkan ratusan para bidsu yang dapat membantu atau mengajarkan agama dan bahasa sangsekerta. Dari dua hal tersebut sangatlah wajar kalau orang tionghoa pasti ada di jambi dan secara tidak langsung akan terdapat perkampungan orang tionghoa di jambi.
Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui sejak kapan dan siapa orang Tionghoa pertama yang datang ke Jambi. Tetapi yang pasti, sejak zaman kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan Melayu, penduduk Jambi telah menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Tionghoa. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa menempati daerah sekitar Sungai dan pantai sebagai tempat tinggal sekaligus tempat berdagang, hal itu disebabkan sungai menjadi jalur transportasi perdagangan.
Pemusatan pemukiman orang-orang Tionghoa memang pada awalnya terjadi karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati daerah-daerah strategis sepanjang aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan, hal ini karena orang Tionghoa sangat menyukai bidang bisnis atau berdagang ( Jambi Independent. 2009 : 14 ).
Ghetto, tempat kehidupan sehari-hari orang yahudi yang di pencilkan, dapat di bandingkan dengan pemukiman-pemukiman khusus yang di bangun oleh orang-orang tionghoa bagi mereka sendiri di banyak kota. Banyak orang, baik orang luar ataupun orang Indonesia itu sendiri, menggambarkan orang tionghoa sebagai kelompok daerah kota yang paling menonjol. Barangkali akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa golongan pribumi Indonesia yang ada di Kota Jambi itu lebih banyak terpusat di daerah pedesaan dan golongan penduduk tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota dari apa yang sebenarnya ( Coppel,Charles. 1994 : 27 ).
Salah satu bukti sejarah Tionghoa yang ada di Kota Jambi ini adalah klenteng Siaw San Teng yang merupakan klenteng tertua dan terbesar di Provinsi Jambi yang terletak di daerah Kampung Manggis Kota Jambi.

Klenteng Siaw San Teng Sekarang
Klenteng ini didirikan pada tahun 1881 itu terlihat dari tulisan kaligrafi Cina kuno berisi pantun Cina yang hingga saat ini masih bertengger di dinding kelenteng.

Kaligrafi Cina Kuno
Yang betengger di dinding klenteng Siaw San Teng

Kaligrafi itu telah berumur sekitar 150 tahun. Memiliki banyak makna dan hanya dimengerti sebagian kecil warga Tionghoa. plakat itu didatangkan langsung dari daerah Tiongkok dan telah ada sejak kelenteng didirikan sekitar 1881. Jadi itu bukti sejarah Cina kuno yang masih disimpan dengan sangat baik di dalam kelenteng yang juga merupakan kelenteng terbesar di Kota Jambi itu. “Ini akan kita simpan dengan baik, tidak ada yang boleh membeli atau membawa pulang bukti sejarah ini. Meskipun tidak banyak yang mengetahui makna dan artinya, ini merupakan salah satu benda penting dan bersejarah yang hanya ada di kelenteng ini dan bukti bersejarah masyarakat tionghoa di kota Jambi secara umum. Menurut Apong, pengurus Kelenteng Siu San Teng, Satu huruf saja bisa memiliki banyak makna. Di Kota Jambi sendiri, hanya beberapa orang yang bisa mengerti arti tulisan itu. Saya saja tidak terlalu mengerti makna dari tulisan tersebut ( Http://www.geogle.co.id. Surya Elviza.Berumur 150 tahun, menjadi bukti sejarah. di akses tgl 15 November 2009 ). Didirikannya tempat beribadah ini adalah bukti bahwa pada tahun 1881 sudah banyak masyarakat tionghoa yang tinggal di kota Jambi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar