Jumat, 04 Maret 2011

Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Di Kota Jambi
Menurut Soejono Soekanto, Masyarakat yang hidup di suatu komunitas mencakup ruang tempat suatu masyarakat hidup, konteks ini merujuk pada suatu ajaran filsafah, bahwa Negara mawa tata, desa mawa cara. Artinya bahwa meskipun suatu komunitas mengaku dirinya sebagai genre dari suatu komunitas tertentu, maka ia akan memberikan corak yang berbeda jika dia hidup di dalam komunitas yang berbeda. Misalnya, orang batak yang hidup di tanah batak, akan berbeda dengan otang batak yang hidup di tanah jawa. Maka dari itu dapatlah di ambil kesimpulan masyarakan tionghoa yang tinggal dan hidup di kota Jambi sangatlah berbeda dengan orang Tionghoa yang hidup di daratan Cina atau di daerah kawasan Indonesia lainnya.
Modernisasi baik langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi masyarakat terhadap nilai-nilai dasar yang berkembang dalam suatu komunitas . Oleh sebab itu masyarakat harus menjaga segala sesuatu norma, nilai atau simbol-simbol yang penting yang tidak dapat di pisahkan lagi dari masyarakat yang ada agar tidak di tinggalkan. Dalam masyarakat modern ini seseorang selalu di hadapkan dengan segala macam kegiatan baik bisnis, profesi, politik dan lain-lain. Dengan keadaan seperti inilah seseorang harus memilih mana dan di saat mana yang perlu di perhatikan dan di utamakan dari yang lain. Oleh karena itu manusia modern haru lebih menggunakan rasio atau akal pikiranya untuk kehidupan di dalam masyarakat, karena dengan akal pikiranya manusia dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, mana yang hak dan yang bukan haknya, mana yang halal dan haram, mana yang baik dan tidak.
Orang Tionghoa yang ada di kota Jambi ini dalam menghadapi kahidupannya sehari-hari menggunakan suatu Hu ( jimat) yang di lakukan secara turu temurun. Jimat ini ada dua macam warna yaitu yang berwarna merah dan kuning yang mempunya arti tersendiri. Hu (jimat) itu harus di bacakan mantra kalau tidak sama saja dengan kertas biasa. Hu (jimat) yang Pertama berwarna Merah yang di tempelkan di depan pintu rumah. Itu sebagai keselamatan agar tidak ada roh-roh ataupun aura jahat yang ada di rumah tersebut kaluar dari rumah. Hu yang ke Dua berwarna Kuning, Hu ini di tempelkan pada altar tempat sebahyang. Hu ini sebagai pegganti patung dewa yang ada di altar.
Dalam Kebudayaan Tionghoa banyak sekali simbol yang mempunyai arti dan maknanya, seperti binatang yang di jadikan simbol dan membawa hoki seperti, Burung Bangau, Liong atau Naga, Burung hong, Kijang, Ikan dan kupu-kupu. Binatang tersebut ada yang di pelihara, tapi yang tak lagi hidup di zaman sekarang seperti Naga, biasanya dimiliki dalam bentuk gambar atau bisa juga dalam bentuk tulisan atau barang-barang lainya. Binatang yang di jadikan simbol ini mempunyai arti tersendiri khususnya burung bangau merupakan hewan yang melambangkan panjang umur, pasalnya hewan ini memang bisa hidup selama ratusan tahun. Binatang Liong atau Naga melambangka kekuasaan atau kerajaan. Arti simbol ini mulai memudar seiring perkembangan zaman, banyak generasi muda Tionghoa yang tidak mengetahui lagi arti dan makna simbol tersebut, kalaupun ada dia hanya mengerti arti simbol-simbol umum saja seperti lilin dan garu.
Kalau di lihat dari apa yang di katakan di atas masyarakat muda Tionghoa di kota Jambi saat ini mereka kurang seperempat dari masyarakat Tionghoa, mereka sudah buta huruf, bahasa dan kebudayaan dari nenek moyangnya. Jadi mereka di golongkan sebagai orang Tionghoa karena kondisi warna kulit dan ciri-ciri lainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar