Jumat, 04 Maret 2011

Sejarah Kedatangan Orang Tionghoa Di Nusantara
Pada awal aba ke 17, sebelum kolonialis belanda datang ke indonesia, bangsa Indonesia dengan tiongkok telah terlibat dalam hubungan perdagangan. Hubungan ini telah di mulai sejak datangnya di nasti Han ( 206 SM – 220 M ). Pada masa ini, tiongkok telah membuka jalur perdagangan dengan negara- negara yang ada di kawasan asia tenggara. Sampai saat ini belum dapat dipastikan siapa orang Cina yang pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara ini, Fa Hian seorang penedeta Cina ( 400 M ) dalam perjalanan pulang dari india ke Cina dia singgah di pulau jawa selama lima bulan ( cator,1936:2) Fa Hian melaporkan pada saat itu belum ada orang cina di Jawa. It Sing pengelana Cina yang melewati nusantar pada tahun 671-692 dia melaporkan telah berdiri kerajaan Ho-Ling. Ho-Ling di duga adalah kerajaan Kalingga ( Vlekke,1967:27-30 ). Sampai abad ke XIII M hubungan orang Cina dan Nusantara hanya berupa kunjugan pendeta, pada masa dinasti Tang ( 618-907 ) ditemukan diskripsi bahwa seorang raja Cina menerima upeti dari kerajaan Sumatra ( Sanbotsai ) ( Heri,Purwanto. 2005: 39 ).
Berdasarkan catatan sejarah dalam buku tang-baru-bangsa-bangsa asia di selatan, di sebutkan bahwa hubungan antara kerajaan sriwijaya dan tiongkok memiliki ke istimewaan. Pada saat itu, banyak bitsu dari tiongkok yang berkunjung ke sriwijaya untuk melakukan pertukaran budaya seni, serta untuk belajar bahasa sangsekerta. Pada saat itu sriwijaya mengguasai jalur utama lalu lintas di semenanjung malaya bahkan merupakan salah satu kerajaan terbesar di asia tenggara dan merupakan pusat penelitian bagi agama budha di kawasan asia tenggara pada abad ke-7, banyak bidsu dari tiongkok memper dalam agama budhanya di india, sebelum ke india sering singgah di sriwijaya terlebih dahulu untuk mempelajari bahasa sangsekerta untuk beberapa waktu, dan tidak sedikit juga para bidsu menetap di sumatra dan jawa. ( Hembing. 2005 : 19 )
Hubungan antara Tionghoa dengan Indonesia setelah adanya laksamana Cheng-Ho ke nusantara pada abad ke 15, pada saat itu cheng-Ho menjalankan misi dari kaisar Cheng-Zhu untuk menjalankan politik kerukunan dan persahabatan dengan bangsa-bangsa asing, termasuk nusantara. Pada saat kedatangan Cheng-Ho ke nusantara sudah banyak Orang tionghoa yang bertempat tinggl di Jawa, Kalimantan, dan sumatra. Jumlah imigran semakin bertambah ketika terjadi penyerangan bangsa manchu terhadap dinasti Ming, sehingga banyak penduduk tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari peperangan, jika pada tahun 1628 jumlah penduduk tiongkok berjumlah 3000 jiwa, maka pada saat tahun 1739 meningkat menjadi 10.574 jiwa. ( Hembing. 2005: xii )
Jawa dan sumatra temasuk jalur perdagangan. Lambat laun, banyak penduduk tiongkok yang bermigrasi ke kepulauan nusantar, baik para pedagang ataupun pendeta. karena daerah nusantara sangat subur di bandingkan dengan negeri tiongkok yang tandus serta kerap terjadi peperangan dan bencana alam.
Gelombang imigrasi orang tionghoa ( terutama daerah selatan seperti Fujian, Guangdong, Hainan dan Teochew ) ke Indonesia sekitar abad ke 19 dan membawa banyak percampuran budaya. Termasuk arsitektur, hal ini karena beberapa kelompok imigran Cina adalah para tukang ahli kayu dan ukir-ukiran ( Http//: Fadila75@Yahoo.com. Di akses april 2009 ).

Kebanyakan imigran tiongkok yang bermigrasi adalah laki-laki dan mereka tidak membawa istri dari negeri asalnya, maka mereka di negeri Nusantara ini menikahi penduduk setempat dan menetap di nusantara ( Leo. 1994 : 20 ). Oleh karena itu munculah Tionghoa peranakan yang kemudian merasa lebih menjadi orang indonesia, sebab mereka lahir, besar, bekerja, dan meninggal di bumi nusantara, bahkan sebagian besar mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, serta menganggap indonesia sebagai tanah airnya sendiri.
Para imigran ini dapat berdampingan dengan penduduk setempat, mereka bersamam-sama memajukan ekonomi daerah yang mereka tempati, bahkan keberadaan mereka sangat membantu bagi pertumbuhan perkembangan daerah setempat, sebab mereka membawa dan memperkenalkan teknologi dari negrinya, seperti pembuatan gula, tebu, Mie, bihun, kecap, penyulingan alkohol, serta pembuatan alat rumah tangga. warga etnis tionghoa sangat rajin bekerja di segala bidang kehidupan misalnya sebagai pedagang, petani, pandai besi, tukang kayu, dan kuli pertambangan ataupun perkebunan. Mereka hidup damai dan saling berdampingan, tidak pernah terjadi konflik pada saat itu apalagi yang di sebabkan oleh masyarakat tionghoa. Sehingga akhirnya pada saat kedatangan belanda ( VOC ) di nusantara ini merusak semua tatanan sosial yang telah di jaga dengan baik di bumi nusantara ini. Tujuan warga tionghoa migran untuk mencari nafkah, tetapi telah di tafsirkan oleh Belanda sebagai bentuk lain dari kolonialisasi di bumi nusantara ( Hembing. 2005 : xii ).
Penindasan yang di lakukan penjajahan belanda terhadap orang tionghoa sangatlah membuat kehidupan sosial masyarakat indonesia hancur, bahkan pernah terjadi bentrokan rasial yang di kenal dengan peristiwa Kudus pada akhir bulan Oktober 1918. Peristiwa itu merupakan ungkapan dari para pedagang Islam dan Tionghoa serta prasangka rasial yang sudah lama terpendam, yang mengakibatkan sebelas orang korban, rumah-rumah di daerah itu terbakar habis, kebanyakan Pers pribumi menyalahkan orang-orang tionghoa, sebaliknya orang Tionghoa menyalahkan Pribumi. Dua haria Sin Po dan Djawa Tengah menyalahkan belanda karena tidak melindungi orang-orang tionghoa ( Leo Suryadinata. 1994 : 40).
Pemerintah Kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni kelas satu untuk golongan eropa, kelas dua golongan timur asing, dan yang ke tiga golongan pribumi masalah inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik sosial di masa-masa kemudian ( Http//: Fadila75@Yahoo.com. Di akses april 2009 ).
Politik Devide Ef Infra yang di terapkan Belanda sangatlah membuat bangsa indonesia ini hancur di semua sektor. Soekarno mengajak orang Tionghoa untuk melawan penjajahan Belanda melalui tulisanya pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa Paham Indonesia tidak bertentangan dengan paham asia. Sebaliknya paham Indonesia adalah paham Asia, kemenangan orang Asia atas Imperialis barat adalah juga kemenangan bagi Indonesia. Dan juga pada awal tahun 1928 surat kabar Tionghoa peranakan Soeara Publiek, yang dewan redaksinya di pimpin oleh Liem Koen Hian, mengemukakan gagasan “ Kewarga Negaraan Hindia Belanda “ bagi orang-orang Tionghoa peranakan. Menurut pendapatnya tionghoa peranakan yang memandang Hindia Belanda sebagai Tanah airnya mereka harus di beri status hukum pribumi, dan oleh sebab itu mereka berhak memiliki tanah dan bukan orang Eropa, dan juga mereka harus mempunyai kewajiban-kewajiban yang sama seperti orang-orang pribumi ( Leo Suryadinata. 1994: 80-82 ).
Meski begitu, sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di Pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin, dan beberapa tempat di Sulawesi.
Suku Hakka tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon, dan Jayapura. Hainan di Riau (Pekanbaru dan Batam) serta Menado.
Suku Hokkien di Jambi, Sumatera Utara, Pekanbaru, Padang, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon. Kantonis (Jakarta, Makassar, dan Menado). Hokchia di Jawa, terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin, Surabaya. Dan Tiochiu di Sumatra Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak. ( Http://jambi-independent.co.id. Usi. Kehidupan suku-suku tionghoa di jambi. di akses tgl 16 Nevember 2009 ).
Masyarakat tionghoa ini sama-sama dengan masyarakat pribumi untuk melawan penjajahan Belanda. Seperti Dalam perang di aceh peran warga tionghoa juga tidak dapat di abaikan, terutama bantuan dari para pedagang tionghoa. Para pedagang tionghoa, selain telah menyulitkan tentara pasukan belanda di aceh dalam penerobosan blokade belanda, juga sebagai pemasok senjata bagi para pejuang aceh. (Toer, Pramudya. 1998 : 128 ).
Perang di ponegoro yang berlangsung selama 5 tahun, menewaskan serdadu belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya sebanyak 20 juta Gulden. Pada awal perang di ponegoro, banyak warga etnis tionghoa yang igin bergabung sebagai anggota perang oleh karena itu penggeran di ponegoro menggeluarkan intruksi agar mereka masuk ke dalam agama islam terlebih dahulu. Peran warga etnis tionghoa dalam perang diponegoro sangat besar, selain sebagai anggota pasukan, terutama dalam penyediaan senjata ( Toer, Pramudya. 1998 : 148 ).
Tindak kekerasan di lancarkan VOC saat itu menyebab lahirnya perjuangan heroik yang di lakukan oleh warga tionghoa, peristiwa ini akhirnya di kenang sebagai peristiwa bersejarah atas keberaniaan warga etnis tionghoa dalam melawan kesewenagan VOC di tahun 1740, yang di sebut sebagi tragedi angke ( Hembing. 2005 : 88 ).
Nasionalisme warga etnis tionghoa sebenarnya sudah terlihat sejak VOC berniat untuk mengguasai banten pada tahun 1753. sumbang sih warga etnis tionghoa kepada perjuangan rakyat banten melawan VOC tidak dapat begitu saja di lupakan. Saat itu banyak warga etnis tionghoa yang sama-sama berjuang dengan penduduk setempat melawan penjajah belanda. Akan tetapi sulit untuk menentukan berapa jumlahnya mereka secara pasti, sebab mereka sudah banyak yang berasimilasi, bukan saja menggunakan nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. Salah satunya yaitu tjong Lin, yang membantu sultan ageng tirtayasa dengan menjadi mata- mata bagi banten, dia akhirnya di tangkap dan di gantung setelah di siksa oleh belanda.
Inilah bukti bahwa sebelum pejajah menguasai negri nusantara ini, masyarakat tionghoa sudah menyatu kedalam bangsa Indonesia dan sangat besar perananya dalam membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Maka dari itu jangan di pandang sebelah mata yang membuat buruk citra masyarakat tionghoa tetapi ingatlah juga apa yang telah meraka lakukan untuk bangsa Indonesia ini. Yang sangat berarti bagi kehidupan kita sekarang.


2.2. Sejarah Masyarakat Tionghoa Di Jambi
Pantai timur Sumatera berada dalam posisi yang sangat menguntungkan dalam jalur pelayaran dan perdagangan di masa lampau ketika dunia pelayaran masih bergantung pada sistem angin muson yang berubah-ubah arah tujuannya setiap enam bulan. Di kawasan ini lalu lintas dari segala arah bertemu untuk menantikan angin yang cocok agar bisa melanjutkan perjalanannya. Tidaklah mengherankan jika pantai ini dianggap sebagai pantai niaga yang disenangi di kawasan barat Indonesia.
Kedudukan Jambi dalam hal ini tidak kalah dari tetangganya Palembang, Indragiri, Riau,dsb. Yang juga memanfaatkan posisi yang menguntungkan itu. Jadi disamping lokasi geografis yang menguntungkan, ada faktor-faktor lain yang ikut memainkan peranan sehingga yang satu ternyata lebih menonjol dari yang lain, sebagaimana telah dibuktikan oleh jalannya sejarah kawasan ini. ( Http://www.geogle.co.id. Matius. 2009 ).
Temuan arkeologi atau sejarah lainnya dapat dikatakan sedikit sekali itupun sudah memasuki abad IV melalui informasi dari berita – berita Cina terhadap utusan – utusan Melayu Chan-pi, Suwarnabhumi atau San-fo-tsi ( Http://www.geole.co.id. Junaidi T Noor. Cerita Perahu Kajang Luko. Di akses tgl 24 November 2009 ).
Kerajaan pada masa pra-Sriwijaya seperti Ge-ying dan Gan-tuo-li telah memanfaatkan lokasi yang menguntungkan ini dan merupakan bandar pelabuhan bagi pelayaran dan perdagangan masa awal. Para pakar memperkirakan bahwa lokasinya harus dicari di pantai timur Sumatera, walaupun belum dapat dipastikan dengan tepat apakah letaknya di Jambi atau di Palembang. Lain halnya dengan shi-li-fo-shi dan Mo-luo-you yang diberitakan oleh yi-jing pada abad VII yang masing-masing diidentifikasikan oleh para pakar sebagai Sriwijaya dan Melayu dan ditempatkan di Palembang dan Jambi. Dari berita Yi-jing itu diketahui bahwa Mo-luo-you telah menjadi Shi- li-fo-shi, dengan kata lain, Jambi telah masuk Sriwijaya walaupun ibukotanya masih berada di Palembang. Namun diperkirakan pula bahwa pusat kerajaan Sriwijaya dapat berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat tertentu. Misalnya, pada paro kedua dari abad XI para pakar memperkirakan bahwa ibukota Sriwijaya telah bertempat di Jambi.
Dalam perdagangan terbuka pada abad ke XIV, di mana bertalian erat dengan saling ketergantungannya antara perdagangan rempah-rempah, bahan makanan, dan komoditi lainya, seperti bahan pakaian, pecah belah, dan lain-lain. Cina melakukan hubungan dagang dengan Jambi yaitu lada. Jadi Jambi merupakan daerah yang sudah lama di kenal dengan bangsa Cina ( Sartono Kartodirdjo. 1987: 79 ). Jambi muncul sebagai pengekspor lada terbesar karena daerah pedalamanya sampai ke minangkabau adalah penghasil lada. Sehingga Portugis dan VOC tidak mengingginkan Jambi jatuh ke tangan Aceh yang pada saat itu Aceh menginginkan pelabuhan yang di miliki Jambi, karena Jambi merupakan pelabuhan Ekspor Lada dan pengimpor beras dan garam ( Sartono Katodirdjo. 1987 : 109-112 ).
Ini membuktikan bahwa pelayaran orang Cina ke daerah ini semakin banyak, dan mencerminkan pula keramaian pelayaran di kawasan ini yang semakin meningkat. Jika sebelumnya pelayaran Cina dan orang asing lainnya dihubungkan dengan perdagangan antara negeri Cina dengan India dan kawasan Asia barat-jadi kawasan ini hanya berperan sebagai tempat singgah dalam jalur sutera -, kini pengunjung asing itu sengaja berlayar kesini untuk berdagang, yakni mempertukarkan barang impor (kain sutera dan keramik dari Cina, tekstil dari India, dsb). Dengan hasil kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi, dll. Dengan kata lain jalur sutera telah melebur dengan jalur rempah-rempah. ( Http://www.geogle.co.id. Matius. Wikipedia Indonesia. 2009 ).
Jambi Yang merupakan daerah bagian sumatra yang posisinya sangat strategis dalam jalur lintas perdagangan pada zamannya. setiap kapal dagang yang ingin melakukan perdagangan secara otomatis pasti melintas di daerah kawasan jambi. Dan juga jambi merupakan daerah yang memiliki beberapa kerajaan besar dan kecil di antaranya. Melayu, zabah, kuntala, sebo, dll. Yang memiliki peranan di dalam daerah jambi pada zamannya. Apalagi kerajaan sriwijaya yang terkenal itu masih belum jelas keberadaannya apakah di Palembang atau di Jambi. Banyak bukti-bukti tertulis yang di temukan di palembang yang memperkuat bahwa kerajaan sriwijaya di palembang tetapi jambi juga mempunyai bukti-bukti yang berbentuk geografis dan peninggalan-peninggalan yang lainnya. Para bidsu dari tiongkok yang ingin memperdalam agama budhanya mereka memperdalam bahasa sangsekerta di sriwijaya untuk modal saat tiba di India. Jambi yang memiliki puluhan tempat beribadah bagi agama budha dan memiliki puluhan bahkan ratusan para bidsu yang dapat membantu atau mengajarkan agama dan bahasa sangsekerta. Dari dua hal tersebut sangatlah wajar kalau orang tionghoa pasti ada di jambi dan secara tidak langsung akan terdapat perkampungan orang tionghoa di jambi.
Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui sejak kapan dan siapa orang Tionghoa pertama yang datang ke Jambi. Tetapi yang pasti, sejak zaman kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan Melayu, penduduk Jambi telah menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Tionghoa. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa menempati daerah sekitar Sungai dan pantai sebagai tempat tinggal sekaligus tempat berdagang, hal itu disebabkan sungai menjadi jalur transportasi perdagangan.
Pemusatan pemukiman orang-orang Tionghoa memang pada awalnya terjadi karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati daerah-daerah strategis sepanjang aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan, hal ini karena orang Tionghoa sangat menyukai bidang bisnis atau berdagang ( Jambi Independent. 2009 : 14 ).
Ghetto, tempat kehidupan sehari-hari orang yahudi yang di pencilkan, dapat di bandingkan dengan pemukiman-pemukiman khusus yang di bangun oleh orang-orang tionghoa bagi mereka sendiri di banyak kota. Banyak orang, baik orang luar ataupun orang Indonesia itu sendiri, menggambarkan orang tionghoa sebagai kelompok daerah kota yang paling menonjol. Barangkali akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa golongan pribumi Indonesia yang ada di Kota Jambi itu lebih banyak terpusat di daerah pedesaan dan golongan penduduk tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota dari apa yang sebenarnya ( Coppel,Charles. 1994 : 27 ).
Salah satu bukti sejarah Tionghoa yang ada di Kota Jambi ini adalah klenteng Siaw San Teng yang merupakan klenteng tertua dan terbesar di Provinsi Jambi yang terletak di daerah Kampung Manggis Kota Jambi.

Klenteng Siaw San Teng Sekarang
Klenteng ini didirikan pada tahun 1881 itu terlihat dari tulisan kaligrafi Cina kuno berisi pantun Cina yang hingga saat ini masih bertengger di dinding kelenteng.


Kaligrafi Cina Kuno
Yang betengger di dinding klenteng Siaw San Teng

Kaligrafi itu telah berumur sekitar 150 tahun. Memiliki banyak makna dan hanya dimengerti sebagian kecil warga Tionghoa. plakat itu didatangkan langsung dari daerah Tiongkok dan telah ada sejak kelenteng didirikan sekitar 1881. Jadi itu bukti sejarah Cina kuno yang masih disimpan dengan sangat baik di dalam kelenteng yang juga merupakan kelenteng terbesar di Kota Jambi itu. “Ini akan kita simpan dengan baik, tidak ada yang boleh membeli atau membawa pulang bukti sejarah ini. Meskipun tidak banyak yang mengetahui makna dan artinya, ini merupakan salah satu benda penting dan bersejarah yang hanya ada di kelenteng ini dan bukti bersejarah masyarakat tionghoa di kota Jambi secara umum. Menurut Apong, pengurus Kelenteng Siu San Teng, Satu huruf saja bisa memiliki banyak makna. Di Kota Jambi sendiri, hanya beberapa orang yang bisa mengerti arti tulisan itu. Saya saja tidak terlalu mengerti makna dari tulisan tersebut ( Http://www.geogle.co.id. Surya Elviza.Berumur 150 tahun, menjadi bukti sejarah. di akses tgl 15 November 2009 ). Didirikannya tempat beribadah ini adalah bukti bahwa pada tahun 1881 sudah banyak masyarakat tionghoa yang tinggal di kota Jambi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar