Minggu, 20 Januari 2013

PRAGMATISME : Analisis Pendidikan Di Indonesia

PRAGMATISME : Analisis Pendidikan Di Indonesia DAFTAR ISI Caver Judul………………………………………………………… 1 Daftar Isi……………………………………………………………. 2 Bab I Pendahuluan……………………………........................ 3 Bab II Pembahasan………………………………………………… 3 2.1 Pragmatisme: Lahir dan Berkembangnya……. 3 2.2. Analisis Pendidikan Di Indonesia Melalui Paham Pragmatisme……………………. 8 BAB III Kesimpulan………………………………............... 12 Daftar Pustaka……………………………………………………… 13 1. Pendahuluan Tulisan yang berjudul Pragmatisme merupakan sebuah tinjauan sejarah intelektual Amerika”, akan membahas apa sebenarnya pragmatisme itu, dan ia sebagai filsafat Amerika Serikat. Dalam tulisan ini juga membahas muncul dan berkembangnya pragmatisme di Amerika Serikat dan di kaitkan dengan tokoh-tokoh yang mempelopori filsafat pragmatisme ini sekaligus menganalisis pendidikan di Indonesia melalui kaca mata paham pragmatisme ini. Akhir-akhir ini, kalau kita mengamati secara tajam perkembangan negara kita (Indonesia), kita akan kerap mendengar kata-kata seperti pragmatis”, “berguna”, laksanakan yang bermanfaat bagi masyrakat saja, ada gunanya atau tidak sarana itu. Ungkapan-ungkapan itu belakangan ini semakin santer disuarakan. Secara fenomenologis hal itu berarti ada suatu sumbernya. Di belakang sumber itu pasti ada aliran cara berfikir tertentu yang berpengaruh. Apakah sumber itu? Inilah yang akan kita pertanyakan untuk kita ketahui. Dengan demikian, kita akan memasuki sumber itu untuk mengerti latar belakang aliran atau cara berfikir apa yang mempengaruhi ungkapan-uangkapan di atas. 2.1. Pragmatisme: Lahir dan Berkembangnya John Dewey yang hidup antara tahun 1859 – 1952 merupakan tokoh asal Amerika yang memiliki pengaruh sangat luas di bidang kajian ilmiah. Problematika nilai merupakan konsentrasi utama kajiannya. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 – 1952). Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 – 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial. Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis. John Dewey sebenarnya mempunyai akar pada tokoh-tokoh filsuf yang mendahuluinya. Namun karena John Dewey adalah seorang empiris, maka filsuf-filsuf empiris Inggris justru mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Dewey sendiri. Salah seorang tokoh yang berpengaruh pada Dewey adalah Francis Bacon. Sebagai seorang empiris, Bacon menolak ilmu pengetahuan pada masanya yang baginya ilmu pengetahuan itu tidak menyentuh realitas. Karena itu Bacon memaknai ilmu pengetahuan itu secara baru yaitu ilmu pengetahuan yang diabdikan demi kebutuhan praktis manusia. Dalam hal ini, Bacon tidak menolak secara mutlak keberadaan ilmu pengetahuan, namun yang penting baginya adalah bahwa ilmu pengetahuan memiliki makna praktis bagi kehidpan manusia. Dari sekian banyak filsuf yang turut mendukung kelahiran teori pragmatisme Bacon adalalah salah seorang filsuf yang diakui oleh Dewey. Bagi Dewey, Bacon adalah seorang nabi inspirator pemikiran modern. Hal ini nampak sekali dalam sumbangan pemikiran pragmatismenya. Dua sumbangan pemikiran Bacon yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Dewey adalah sebagai berikut: Pertama, dalam sikap, ilmu adalah pekerjaan sosial, karena itu ilmu tidak ditatap secara lepas dari lingkup kebutuhan manusia yang praktis. Kedua, ilmu bukan renungan mendalam seorang individu belaka, akan tetapi lebih merupakan pekerjaan sosial yang didalamnya sekelompok orang turut berpartisipasi dan terikat dalam satu tujan tertentu. Menurut Dewey, berpikir adalah mentransformasikan suatu situasi yang kacau – balau, situasi yang tidak menguntungkan, kegelapan, ke situasi yang lebih terang, tenang, dan harmonis. Jadi, pemikiran hanyalah sebuah alat untuk mengatasi suatu masalah atau menangani krisis dalam situasi konkret. Tugas dari pemikiran adalah menemukan alat atau sarana dalam lingkup konkret demi tujuan praktis yang dibutuhkan dalam kehidupan. Penekanan Dewey dalam metodenya adalah pada praktek, yakni pada keterlibatan aktual atau partisipasi aktif dimana kita belajar dengan mengerjakannya (learning by doing). Pemahaman terhadap Dewey menjadi jelas jika menelusuri pandangannya mengenai pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan. John Dewey dianggap seorang empiris karena baginya, pemikiran harus berpijak pada penggalaman (experience), dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Jadi, baginya titik tuju dan titik tolak dari pemikiran adalah pengalaman. Pada mulanya pemikiran bangkit karena adanya pengalaman (contoh; yang menyulitkan) dan pada akhirnya pemikiran membuat pemecahan yang akan mempunyai akibat merubah situasi, yang berarti juga pengalaman itu selanjutnya ( yang akan datang). Konsep kunci filsafat Dewey adalah pengalaman. Filsafat harus berpangkal pada pengalaman-pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif dan kritis. Karena itu, bagi Dewey seorang filsuf harus peka akan pentingnya pengalaman. Pada awalnya Dewey tertarik pada teori pengalaman yang dikembangkan oleh kaum Hegelian, tetapi kemudian ia mengembangkan suatu teori semacam neo-empirisme. Ada 3 hal pemikiran pokok mengenai pengalaman yang menurut Dewey diabaikan oleh para pemikir idealis, yakni: 1. Pengabaian terhadap pengalaman bertindak. 2. Penolakannya terhadap gagasan mengenai suatu hal yang merupakan kesatuan yang menyeluruh. 3. Anggapannya bahwa kaum Hegelian dan idealis mengenai kodrat alam yang terlalu menggeneralisasikan sehingga menuntun pada proyeksi kosmis yang keliru. Dengan meninggalkan pemikiran Hegelian ini, Dewey kemudian beranggapan bahwa pengalaman merupakan interaksi suatu organisme dan lingkungan, alam dan masyarakatnya. Menurutnya pengalaman merupakan pertemuan non-reflektif dengan suatu situasi seperti halnya makan donat, menikmati pemandangan, dan bercanda dengan teman. Menurut Dewey ada 2 hal yang mempengaruhi lahirnya konsep baru mengenai pengalaman dan relasinya dalam pengalaman dan penalaran. Pertama, perubahan mengenai kodrat pengalaman itu sendiri. Kedua, perkembangan suatu bidang psikologi yang berlandaskan pada biologi. Perkembangan biologi membuat segala sesuatu menjadi berubah. Prinsipnya kalau ada kehidupan pastilah ada tingkah laku dan tindakan. Namun penyesuaian diri itu bukanlah suatu hal yang pasif tetapi aktif, sebab organisme bertindak terhadap lingkungan tersebut dengan memberikan perubahan terhadapnya sesuai dengan usahanya dalam mempertahankan kehidupan dan menghadapi lingkungannya. Dalam hal ini pengalaman merupakan proses timbal balik dan saling mempengaruhi antara makhluk hidup dan lingkungannya dalam rangka menuju ke kehidupan yang lebih baik. Bagi Dewey pengalaman adalah lingkungan yang merangsang organisme untuk memodifikasi lingkungan itu dalam hubungan timbal balik. Apabila kita lihat, pandang secara cermat, ciri yang penting adalah perkembangan material dan tekniknya. Perkembangan ini sangat mempengaruhi alam pemikiran bangsa Amerika, pengaruh itu jelas dalam pragmatism (Ismail. 2002). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatism akhirnya berkembang menjadi suatu metode untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno. Dalam usahanya untuk memcahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan berbagai filosofi, pragmatisme menemukan suatu metode yang spesifik yaitu dengan mencari konsekwensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak. Dalam perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia, maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat yang satu ini. Dan karena metode yang dipakai sangat populer untuk di pakai dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu, karena menyangkut pengalaman manusia sendiri, filsafat inipun segera menjadi popular di Amerika pada abad ke-19. Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal demikian ini membuat Dewey lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi. Dalam masyarakat industry, belajar haruslah dititik tekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput (http//www.andryan87 in.Agama Dan Filsafat). 2.2. Analisis Pendidikan Di Indonesia Melalui Pragmatisme Maraknya prilaku anarkis, tawuran antar warga, penyalah gunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai fenomena sosial lainnya sering terjadi di Negara kita (Indonesia). Fenomena-fenomena sosial ini menunjukan adanya indikasi masalah akut tersebut bertentangan dengan visi dan misi pendidikan dalam membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional. Selama ini sistem pendidikan nasional sebenarnya sudah memiliki visi pendidikan. Hanya saja yang diinginkan oleh undang-undang gagal di hasilkan disekolah. Visi pendidikan ini tercermin dalam perundang-undangan yang membahas pendidikan nasional mulai dari UU No. 2 tahun 1989, sampai UU No. 20 tahun 2003. Semua perundang-undangan ini menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk membentuk karakter bangsa, meskipun disampaikan dengan diskripsi yang berbeda-beda. Karena itu, jika selama ini pendidikan nasional telah memuat visi pendidikan yang memiliki karakter bangsa, sementara karakter yang terbentuk justru bertentangan dengan tujuan pendidikan yang ingin di raih, berarti ada masalah dalam praktek pendidikan nasional (Supriyoko, 2011:2). Sehingga tidak jarang terdengar mengenai-isu-isu yang menyatakan bahwa terjadinya fenomena-fenomena ini di akibatkan sekolah telah gagal mengemban amanat visi pada undang-undang pendidikan nasional yang membangun karakter bangsa. Oleh karena itu, solusi sebenarnya yang perlu ditampilkan oleh sekolah yang memiliki segudang pengalaman baik itu pengalaman pemerintah, sekolah, dan penyelengara pendidikan yang dapat di salurkan pada saat proses pembelajaran. Pada hal inilah yang penulis kaitkan dengan filsafat pragmatisme (John Dewey) yang menitikkan pada pengalaman, sehingga pemerintah juga harus mengubah pola pikir para penyelenggara pendidikan agar sekolah tidak lagi menampilkan praktik yang berlawanan dengan tujuan pendidikan nasional. Dengan menyelenggarakan proses pendidikan yang demokrasi dan saling menghormati. Pada dasarnya tujuan pendidikan menurut aliran berpaham pragmatisme adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan. Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama (Ismael. 2002). Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang. Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continuum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda. Kurang lebih ada tiga sumbangan pemikiran Dewey dalam pendidikan: a. Dewey melahirkan konsep baru tentang kesosialan pendidikan. Disini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat; bahwa pendidikan harus terefleksikan dalam menajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Akhirnya proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerja sama dan timbal balik menggeser suasana kompetensi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan. b. Dewey memberikan bentuk baru terhadap konsep keberpusatan pada anak. Dalam hal ini pemikiran Dewey berdasar pada landasan-lndasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula pada sebuah penelitiannya tentang anak menjadi lebih meyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentrimental. c. Proyek dan problem solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam tekhnik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberi kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian, Deweylah yang telah membawa orang menjadi tetarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan. Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah, dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan mesyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran. 3. Kesimpulan “Pengalaman adalah guru sejati” kalimat ini sering terdengar di kalangan masyarakat hal ini terkait dengan apa yang terjadi di Negara kita saat ini (Indonesia). Banyak sekali fenomena yang terjadi, sehingga kesalahan-kesalahan ini di titik beratkan pada sekolah ataupun pemerintah yang telah gagal dalam mencapai visi pendidikan nasional. Oleh sebab itu pemerintah, sekolah, dan lembaga-lembaga terkait harus mengubah proses pendidikan baik kurikulum dan sebagainya, selain itu pihak sekolah juga harus mengubah bagaimana cara proses pembelajaran berlangsung dengan proses pembelajaran yang demokratis untuk melakukan perbuatan agar terciptanya suatu pengalaman belajar yang bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA Asy-Syarafa, Ismail. 2002. Ensiklopedi Filsafat diterjemahkan oleh Shofiyullah Mukhlas. Khalifa: Jakarta Supriyoko. 2011. Pendidikan Karakter. Samudra Biru. http//www.andryan87 in.Agama Dan Filsafat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar